Jakarta (ANTARA News) - Presiden Mesir Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada militer Jumat malam setelah para pengunjuk rasa tiada henti menuntutnya mundur dari kursi kepresidenan sejak 25 Januari silam.
Beberapa jam sebelum taklimat pengunduran diri, Presiden Mubarak bersama keluarganya telah meninggal ibu kota Kairo ke Sharm El Shaeikh (500 km arah timur Kairo). Sejauh ini belum diketahui akankah dia dan keluarganya tetap berada di Mesir atau pergi untuk mengasingkan diri seperti Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang digulingkan oleh revolusi rakyat beberapa waktu lalu.
Militer Mesir yang telah menerima kekuasaan dari Presiden Mubarak segera membubarkan kabinet pimpinan Perdana Menteri Ahmed Shafiq yang ditunjuk oleh Presiden Mubarak dua pekan lalu menyusul pengunduran diri kabinet pimpinan PM Ahmed Nazif pada 28 Januari.
Selain pembubaran kabinet, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata juga menangguhkan parlemen.
Unjuk rasa akbar yang disebut "Jumatul Ghadhab (revolusi Jumat) itu menewaskan lebih dari 100 orang akibat terlibat bentrok hebat dengan polisi. Tapi Badan PBB yang mengurusi hak asasi manusia menyebut jumlah korban tewas dalam aksi itu mencapai 300 dan ribuan menderita luka-luka.
Sejak Revolusi Jumat berlanjut hingga pekan ke tiga pada Jumat (11/2), para pengunjuk rasa mengubah yel-yel "Jumatut Tarhil" (Jumat perginya Mubarak).
Para pengamat mengatakan, Mubarak bertahan di kekuasaan hingga 30 tahun sejak 1981 itu akibat mendapat dukungan kuat dari militer.
Mubarak dalam pidatonya pada Kamis malam menyatakan tidak akan mundur, namun menyerahkan kekuasaannya kepada Wapres Omar Suleiman, mantan kepala intelijen, dan mengajukan amandemen konstitusi.
Kendati diprotes pengunjuk rasa, Dewan Tertinggi Militer menyatakan mendukung pengalihan kekuasaan Presiden Mubarak kepada Wapres Suleiman tersebut.
Dalam taklimatnya, militer menjanjikan pemilihan umum bebas, namun belum menentukan tanggal pastinya.
Sambutan Gegap Gempita
Rakyat terutama para demonstran di Bunderan Tahrir, Kairo, tentu menyambut gegap gempita pengunduran diri Mubarak yang telah lama dinanti-nantikan.
Sebagai tanda suka cita, ribuan pengunjuk rasa mengibarkan bendera dan mobil-mobil membunyikan klakson. "Rakyat telah menggulingkan rezim itu! demikian teriakan para pengunjuk rasa di Tahrir setelah Wakil Presiden Omar Suleiman mengumumkan bahwa Mubarak telah menyerahkan kekuasaan kepada militer.
Namun, sebelum berita pengunduran diri Mubarak diumumkan, seorang pemrotes Mesir tewas Jumat dan 20 orang cedera dalam bentrokan dengan polisi di kota Al-Arish, Sinai utara, kata seorang perwira keamanan kepada AFP.
Pemrotes yang belum teridentifikasi itu tewas dalam kontak tembak antara polisi dan demonstran yang berusaha membebaskan tahanan dari sebuah kantor polisi.
Sekitar 1.000 pemrotes memisahkan diri dari kelompok besar yang berdemonstrasi di kota itu dan bergerak menuju sebuah kantor polisi, dan mereka melemparkan bom molotov serta membakar mobil-mobil polisi.
Lebih dari sejuta orang memadati jalan-jalan di Mesir setelah sholat Jumat di berbagai penjuru negara itu untuk menuntut pengunduran diri Mubarak.
"Saya katakan dalam diskusi di LIPI Jumat siang bahwa penentuan Presiden Mubarak hari Jumat sehabis shalat. Bila demo membesar dia segera jatuh, bila demo menyurut maka dia selamat sampai September," kata Hamdan Basyar, peneliti utama bidang politik pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat malam.
Hamdan menyatakan, ternyata demo yang berpusat di Tahrir membesar dan Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun pun jatuh.
Militer Mesir akan terus mengawal peralihan sampai pemilihan umum dan juga "mengawal" kepentingan Amerika Serikat dan Israel, katanya.
Hamdan, yang juga Direktur Eksekutif ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies), memperkirakan militer akan terus "mengawal" transisi sampai pemilu dan mereka juga akan "mengawal" kepentingan Amerika Serikat dan Israel.
Mesir dan Israel dengan mediasi Amerika Serikat menandatangani perjanjian damai 1979, dua tahun sebelum Mubarak menjabat presiden. Perjanjian itu menjamin kepentingan kedua negara dan mensyaratkan jaminan bagi stabilitas regional.
Perkembangan terbaru di Mesir yang ditandai dengan mundurnya Presiden Hosni Mubarak juga dinilai sebagai langkah positif yang baik demi terciptanya proses demokratisasi yang semakin luas di negara Arab itu.
"Saya merasa senang mendengar perkembangan terbaru itu di Mesir," kata Bonggas Adhi Chandra Ph.D dalam pesan singkatnya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu dinihari ketika ia dimintai pendapatnya tentang penyerahan kekuasaan Presiden Mubarak kepada militer.
Menurut dia, perubahan yang terjadi itu perlu dicermati karena penyerahan kekuasaannya kepada militer.
"Kini tinggal bagaimana militer menjalankan amanah kekuasaan ini dengan baik sesuai prinsip demokrasi," kata dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina itu. ?Karena apabila tidak menjalankannya dengan baik, demo yang terjadi tetap akan berlangsung.?
Di negara-negara berkembang, seperti halnya di Indonesia 13 tahun lalu, memang pihak militer sering memegang peranan penting dalam masa peralihan politik/pemerintahan. Militer diharapkan bisa bermain netral dan menyerahkan kepemimpinan kepada sipil atau figur pimpinan yang menghargai nilai-nilai demokrasi melalui proses pemilu secara demokratis.
Atau militer Mesir yang kini memegang kendali kekuasaan tergoda untuk membentruk junta militer, seperti rezim militer yang memerintah Myanmar? Hanya waktu yang akan berbicara. (M016/K004)
Oleh Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011