Lebak (ANTARA) - Kawasan pemukiman masyarakat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pagi itu ramai di bale-bale amben rumah warga yang terbuat dari bambu dan kayu serta atap rumbia.
Tangan-tangan mereka cukup terampil untuk melilitkan benang melalui alat manual yang digerakkan tangan dan kaki.
Satu demi satu kain tenun itu rampung setelah tiga hari mengerjakan dengan ukuran panjang 2,5 meter dan lebar dua meter.
Harga kain tenun itu bervariasi tergantung jenis dan motif mulai Rp120 ribu hingga Rp750 ribu per potong.
"Kami hari ini mengirim pesanan dua potong kain tenun ke Bali dengan harga Rp500 ribu dan pembayarannya melalui digitalisasi," kata Anah (30) seorang perajin warga Badui Luar saat ditemui di kediamannya di Kampung Kadu Ketug Desa Kanekes Kabupaten Lebak.
Perajin kain tenun di kawasan pemukiman masyarakat Badui sedikit bernafas lega karena kini permintaan kembali meningkat.
Permintaan itu bukan hanya wisatawan yang datang ke sini saja, namun dari berbagai daerah pun banyak, bahkan dari Provinsi Bali hingga Kalimantan Timur.
Sebelumnya, kata Anah, selama 1,5 tahun di masa pandemi COVID-19 mereka perajin menghentikan kegiatan produksi, karena tidak ada permintaan pasar itu.
"Kami berharap permintaan pasar kembali meningkat usai kasus COVID-19 menurun, " katanya menjelaskan.
Bangkit
Usaha kerajinan tenun tradisional masyarakat Badui kembali bangkit setelah permintaan pasar cenderung meningkat.
Permintaan pasar itu karena pemerintah membuka kembali obyek wisata sehubungan kasus corona menurun.
"Kami sejak dua pekan terakhir permintaan kain tenun meningkat dari biasanya satu potong, kini menjadi 10 potong kain tenun per pekan, " kata Ambu Silvi (35) seorang perajin tenun warga Badui di Kampung Kadu Ketug Desa Kanekes Kabupaten Lebak.
Permintaan sebanyak 10 potong kain tenun Badui itu bisa menghasilkan pendapatan Rp1,6 juta dari sebelumnya pendapatan hanya Rp130 ribu/pekan.
Meningkatnya permintaan kain tenun Badui dapat menggairahkan kembali untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat adat.
Selama ini, pelaku kerajinan tenun Badui menjadikan andalan kesejahteraan.
Begitu juga perajin kain tenun Badui, Neng (45) mengaku saat ini kunjungan wisatawan ke sini mulai ramai, termasuk permintaan pasar cenderung meningkat.
"Kami sekarang bisa meraup keuntungan bersih Rp10 juta dari sebelumnya Rp300 ribu/bulan, " kata Neng.
Kepala Seksi Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lebak, Sutisna mengatakan pemerintah daerah hingga kini masih melakukan pembinaan dan pelatihan guna meningkatkan mutu dan kualitas.
Pembinaan kerajinan Badui itu dilakukan secara bertahap karena jumlah perajin sekitar 420 unit usaha tenun Badui dan memberikan dampak positif bagi penduduk sebanyak 10.600 jiwa.
Mereka perajin kain masyarakat Badui dikerjakan secara peralatan manual tanpa mesin.
Mereka mengerjakan satu potong kain tenun Badui berukuran 2x3 meter persegi mencapai dua hari.
Pemerintah daerah terus mendorong pelaku usaha kerajinan kain tenun Badui tumbuh dan berkembang, karena menyerap ribuan tenaga kerja.
Keunggulan kain tenun Badui itu banyak corak warna dan motif berbeda di antaranya poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket dan semata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka).
Selain itu juga motif adu mancung, serta motif aros yang terdiri atas aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus.
"Kami optimistis melalui pembinaan dipastikan kain tenun Badui menembus pasar domestik dan mancanegara," ujarnya.
Mendunia
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lebak Farid Darmawan mengatakan pihaknya mempromosikan kain tenun Badui ke dunia guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat suku terasing di Provinsi Banten.
Promosi juga menggandeng Lembaga Kementerian Pariwisata juga kalangan pengusaha, termasuk desainer muda Amanda I Lestari menampilkannya di London Fashion Week, Inggris.
Pelaku usaha di sejumlah negara di Benua Eropa dan Asean mengapresiasi produk kerajinan masyarakat Badui sebagai kain terbaik di dunia.
Keunggulan kain tenun Badui cukup berbeda dengan kain-kain tenun yang ada di seluruh Indonesia.
Kain tenun Badui memiliki motif satu juga mengandung makna filosofi dengan bergaris dua atau tiga garis yang menggambarkan warga Badui jika berjalan kaki berbaris lurus dan tidak boleh menyamping.
Artinya, masyarakat Badui menunjukan kehidupan yang damai juga menjalin persaudaraan.
Sebab, jika berjalan menyamping tentu sangat mengganggu orang lain juga berlawanan arah.
"Filosopi kain tenun Badui seperti itulah yang menggambar masyarakat Badui," katanya menjelaskan.
Menurut dia, pihaknya juga terus meningkatkan kualitas dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada pelaku usaha kerajinan kain tenun Badui.
Pihaknya mendatangkan para pelatih di bidangnya guna meningkatkan kualitas kain tenun Badui yang diproduksi secara tradisional.
Para pelatih itu bagaimana perajin kain tenun Badui mengembangkan teknik cara menenun juga penggunaan benang.
"Kita seringkali mendatangkan pelatihan agar kain tenun Badui mendunia," ujar suami Bupati Iti Octavia.
Ketua UKM DQ Baraya Kabupaten Lebak Endoh Mahfudoh mengatakan pihaknya saat ini menjual kain tenun Badui ke Vietnam karena permintaan konsumen di negara itu cukup tinggi.
Tingginya permintaan pasar di negara Vietnam ini terjadi setelah kerajinan Badui mengisi kegiatan pameran melalui promosi yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Banten tahun 2018 lalu.
Masyarakat Vietnam pun mengaku sangat tertarik produk-produk kerajinan masyarakat budaya Baduy dari Kabupaten Lebak, Banten.
Produk kerajinan yang dimaksud antara lain kain tenun, souvenir, aksesoris, lomar, selendang, tas koja, batik Badui. Selain itu juga batik pakaian Lebak dan batik Banten.
"Kami sangat terbantu produk kerajinan masyarakat Badui menembus pasar Vietnam itu," ujarnya.
Terancam bangkrut
Tetua masyarakat Suku Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Jaro Saija mengatakan selama corona berlangsung pelaku kerajinan masyarakat Suku Badui terancam gulung tikar.
Mereka yang masih bertahan memproduksi kerajinan dan pedagang di kawasan Badui sangat menurun karena produknya tidak laku.
Pengunjung wisatawan dilarang memasuki kawasan pemukiman Badui karena saat itu diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Para perajin dan pedagang aneka kerajinan Badui sangat terpukul di tengah pandemi Covid-19, karena permintaan konsumen menurun drastis.
Namun, saat ini pelaku kerajinan masyarakat Badui secara perlahan - lahan kembali bangkit setelah pemerintah daerah kembali membuka wisata.
Dengan meningkatnya permintaan lain tenun itu diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan warga Badui.
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021