..diperlukan adanya sebuah perubahan dalam sistem perpajakan, salah satunya adalah penggunaan teknologi dalam sebuah bank data perpajakan,
Jakarta (ANTARA) - Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo menyatakan diperlukan perubahan sistem perpajakan untuk mengatasi kinerja sektor perpajakan yang saat ini terus menerus mengalami penurunan performa.
Hadi Purnomo melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, menyebutkan bahwa Indonesia pada tahun 2045 akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70 persennya dalam usia produktif (15-64 tahun).
Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, lanjutnya, akan membawa dampak buruk terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Untuk dapat memanfaatkan bonus demografi tersebut, negara tentu memerlukan modal yang memadai. Dewasa ini, modal utama dari negara adalah sektor perpajakan.
Namun ironisnya, lanjutnya, sektor perpajakan terus menerus mengalami penurunan performa, yang dibuktikan dengan terus menurunnya tax ratio.
"Untuk itulah diperlukan adanya sebuah perubahan dalam sistem perpajakan, salah satunya adalah penggunaan teknologi dalam sebuah bank data perpajakan," ujarnya dalam webinar "Peran Profesi Konsultan Pajak Dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045".
Baca juga: Sri Mulyani targetkan sistem pajak berubah jadi "core tax" di 2023
Dikatakannya, terjadi perubahan mendasar dalam reformasi perpajakan tahun 1983 yang mengubah sistem pemungutan pajak dari sebelumnya Indonesia menganut official assessment system berubah menjadi self assessment system.
Namun sistem tersebut memiliki kelemahan yang sangat mencolok, lanjutnya, yaitu ketiadaan data pembanding yang dimiliki petugas pajak atas laporan yang diberikan oleh wajib pajak.
Hal tersebut memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan ketidakjujuran dalam laporan pajak mereka. Untuk itulah, DJP mencoba mewujudkan SIN (Single Identity Number) Pajak dalam bank data perpajakan yang digunakan sebagai data pembanding bagi petugas pajak atas laporan-laporan pajak dari wajib pajak.
Baca juga: Sri Mulyani: Perbaikan sistem perpajakan untuk pulihkan ekonomi
Langkah pertama untuk mewujudkan bank data perpajakan tersebut adalah melalui UU APBN 2002, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2001, yang merupakan undang-undang pertama yang memuat pengaturan mengenai SIN Pajak dalam bank data perpajakan.
Bertahun-tahun berikutnya, tambah Hadi, SIN Pajak dalam bank data perpajakan tersebut belum juga terwujud sampai akhirnya disahkannya UU Nomor 9 Tahun 2017 sebagai bentuk pengesahan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2017.
Menurut dia, SIN Pajak dalam bank data perpajakan memberikan solusi dalam rangka pencapaian target penerimaan perpajakan baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi perpajakan.
"Dengan menggunakan data SIN Pajak dalam bank data perpajakan, DJP dapat memetakan sektor-sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan," ujar Hadi Purnomo.
Baca juga: Menkeu: Reformasi perpajakan dilanjutkan, fokus penyelarasan sistem
SIN Pajak, tambahnya, akan dapat memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.
"Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP. Sehingga WP akan patuh membayar kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah untuk menghindar dari kewajiban perpajakan," katanya.
Menurut dia, dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan tersebut tentu penerimaan perpajakan akan dapat mencapai target, bahkan jika dilihat dari potensi perpajakan yang ada sangat dimungkinkan akan dapat melebihi target pajak yang telah ditetapkan.
"Imbasnya adalah surplus tersebut akan dapat digunakan sebagai investasi negara dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045," kata Dirjen Pajak 2001-2006 itu.
Baca juga: Menkumham sebut pandemi momentum tata ulang sistem perpajakan
Baca juga: Wamenkeu sebut RUU Cipta Kerja dapat benahi sistem perpajakan
Baca juga: Pemerintah didorong fokus kepada perbaikan penerimaan pajak
Pewarta: Subagyo
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021