"Seharusnya jika sudah memenuhi unsur pelanggaran pidana terhadap UU Penyiaran, ada saksi korban dan bukti kuat, polisi bisa langsung menetapkan tersangkanya," kata Neta kepada pers di Jakarta, Jumat.
Dia mengemukakan, polisi juga terkesan kurang serius dan ingin menutup kasus ini. "Ada kesan polisi cenderung ingin menutup kasusnya, padahal kasus ini berhubungan dengan kepentingan publik," katanya.
Kelambanan polisi, kata Neta, ada dua penyebab. Pertama, kemungkinan adanya intervensi dari pihak yang terkena kasus dengan beragam cara sehingga polisi tidak independen dan sengaja cenderung menutup-nutupi kasusnya. Kedua, minimnya profesionalisme dan tidak adanya pemahaman terhadap kasus ini.
Dalam protap penanganan kasus di kepolisian, menurut Neta, jika sudah menyangkut delik pidana, ada barang bukti dan saksi korban, maka sudah semestinya polisi memprosesnya secara hukum. "Jika memang proses penyidikan dirasa sudah lengkap. Pelapor dan saksi sudah dipanggil, lalu berkas-berkas sudah lengkap, mestinya polisi sudah harus menetapkan tersangka dalam kasus ini, tidak boleh ragu," kata Neta.
Neta khawatir masyarakat tidak percaya lagi terhadap kinerja polisi jika berani "bermain" dalam kasus yang menyangkut kepentingan publik. "Mestinya sudah harus diserahkan kepada jaksa. Toh, nanti jaksa sudah punya supervisi dari kejaksaan," kata Neta.
Untuk mendorong kinerja kepolisian ke depan agar lebih profesional, Neta meminta Kapolri dan Irwasum Mabes Polri lebih memperketat pengawasan ke dalam. "Pimpinan kepolisian harus segera memanggil para penanggung jawab penyidikan kasus ini dan menanyakan kenapa kasusnya tidak segera dituntaskan, karena kalau sampai kasus ini menggantung, ini menjadi preseden buruk bagi korps polisi dalam meraih kepercayaan publik," papar Neta.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melaporkan kasus tayangan program infotainment "Silet" yang dinilai telah menyesatkan publik dan membuat berita kebohongan. Lembaga Penyiaran ini bahkan sudah menghentikan program tersebut.
Saksi Korban
Dalam proses penyidikan kasus tayangan "Silet", penyidik Bareskrim Mabes Polri Kamis (10/2) memeriksa dua saksi korban. Keduanya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta berinisial PA dan IA.
PA merupakan salah satu dari ribuan warga Yogya yang melakukan eksodus pasca menyaksikan tayangan "Silet" edisi 7 November 2010 tentang bencana Merapi.
"Korban (PA) panik setelah menyaksikan ramalan di tayangan `Silet` yang menyebut akan ada letusan dahsyat serta banjir lahar pada tanggal 8 (November). Dia langsung menelepon kakaknya, meminta dijemput ke Temanggung (Jawa Tengah). Padahal besoknya (8/11) itu dia ada UAS (Ujian Akhir Semester)," ujar Iswandi Syahputra, Komisioner KPI kepada wartawan di Jakarta.
Hal serupa juga terjadi pada saksi korban berinisial IA. Mahasiswi UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta ini ketakutan dan tidak berani masuk ke kota Yogya akibat tayangan "Silet". "Saat menonton tayangan `Silet` dia sedang ada di Surabaya. Saat itu dia sudah berkemas untuk kembali ke Yogya karena besoknya (tanggal 8/11), dia sudah ada kuliah. Tapi karena ramalan itu dia jadi tidak berani masuk ke Yogyakarta," kata Iswandi.
Selain kedua saksi korban ini, KPI juga sudah menyiapkan sembilan saksi lainnya. "Para saksi ahli itu yang akan menjelaskan bahwa apa yang ditayangkan oleh `Silet` merupakan berita bohong yang meresahkan," kata Iswandi.
Menurut Iswandi Syahputra, proses penyidikan terhadap pihak-pihak terkait sudah cukup lengkap. "Kuasa hukum kami sudah memberikan semua berkas dan sudah mengajukan saksi. Kini kami tinggal menunggu aksi lanjutan oleh kepolisian. Kami berharap polisi bertindak cepat," katanya. (*)
(T.S023/D011/)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011