Jakarta (ANTARA News) - Direktur Program Imparsial The Indonesian Human Right Monitor, Al Araf, mengatakan, pembubaran atau pembekuan organisasi masyarakat harus melalui mekanisme hukum peradilan dengan tetap mempertimbangkan prinsip pembatasan dalam hak azasi manusia dan demokratis.

"Karena hanya dengan proses peradilan itulah pembekuan atau pembubaran ormas tertentu dapat obyektif kebenarannya," kata Al Araf di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, kerangka hukum pembekuan ormas ini jelas tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berserikat dan berekspresi, apalagi kewenangan ini melekat pada Presiden secara tunggal, sehingga berpotensi melanggar HAM dan politisasi untuk kepentingan penguasa sangat mungkin terjadi.

Oleh karena itu, pembekuan ormas yang terlibat dalam kasus kekerasan Ahmadiyah di Pandeglang, Banten dan kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah harus melalui mekanisme pengadilan.

"Penting untuk dihindari pembekuan ormas tanpa melalui mekanisme hukum peradilan," ujarnya.

Ia menilai UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan PP No 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8 tahun 1985 yang mengatur secara detail keberadaan Organisasi Masyarakat di Indonesia harus direvisi karena diskriminatif dan tidak sesuai dengan demokrasi serta penegakan HAM.

Terkait kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, Imparsial mengecam keras segala bentuk kekerasan atas nama agama yang telah terjadi selama ini. Munculnya kekerasan karena kegagalan polisi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam penegakan hukum.

"Kekerasan yang terjadi di Cikeusik adalah bentuk pembiaran aparat keamanan karena seharusnya aparat keamanan bisa membaca gelagat akan terjadinya kekerasan dalam skala besar," tutur Al Araf.

Imparsial juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas aparat keamanan yang melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi karena pembiaran merupakan kejahatan.

Sementara itu, Internasional Federation for Human Right (FIDH) mencatat sebanyak 75 kasus kekerasan yang dialami kaum minoritas.

"Jumlah kasus tersebut merupakan hasil penelitian bersama FIDH, Imparsial dan Kontras pada 2009-2010," kata Christine Habbard dari FIDH.

Ia menilai adanya kasus tersebut menunjukan pemerintah telah melakukan pembiaran, sehingga kasus kekerasan atas nama agama kembali terjadi. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011