kita minta MA mengambil alih eksekusi ini
Banda Aceh (ANTARA) - Forum LSM Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk mengambil alih eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam terkait kasus pembakaran lahan.
"Kita sudah menyampaikan petisi melalui laman change.org, menuntut agar eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam segera diambil alih oleh Mahkamah Agung," kata Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan, di Banda Aceh, Selasa (12/10).
Sudirman mengatakan, petisi tersebut disampaikan karena Pengadilan Negeri Suka Makmue Kabupaten Nagan Raya selaku lembaga yang berwenang menangani eksekusi itu, namun terkesan lamban dalam menjalankan kewenangannya.
Sudirman menyampaikan, sebenarnya saat ini sudah tidak ada persoalan hukum apapun yang dapat menghalangi eksekusi tersebut, dan seharusnya bisa dilakukan sejak empat tahun lalu.
"Eksekusi selalu tertunda sebab PN Suka Makmue ragu menjalankannya. Padahal Ketua PN Suka Makmue sudah mengambil sumpah tim penilai aset (appraisal) yang bertugas menghitung nilai aset perusahaan yang akan dieksekusi," ujarnya.
Baca juga: Mahasiswa Nagan Raya desak eksekusi putusan atas perusahaan sawit
Baca juga: PTUN diminta tolak gugatan Walhi
Karena sikap PN Suka Makmue tersebut, Forum LSM Aceh dan Yayasan HAKA menggagas petisi yang menuntut agar MA mengambil alih kewenangan eksekusi itu. "Pengambilalihan itu juga sah menurut hukum," kata Sudirman.
Sudirman menyampaikan, kasus ini bermula dari pembakaran oleh perusahaan sawit di atas lahan sekitar 1.000 hektare di area lahan gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya pada periode 2009-2012.
"Padahal area itu merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Namun, perusahaan membakar lahan itu karena ingin menjadikannya sebagai area perkebunan kelapa sawit," katanya.
Akibat tindakan itu, kata Sudirman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 15 Juli 2014 melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Meulaboh.
Setelah proses sidang yang panjang, PN Meulaboh memvonis PT Kallista Alam bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp366 miliar, dengan rincian Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp251,7 miliar.
Setelah itu, lanjut Sudirman, berbagai upaya perlawanan terus dilakukan PT Kallista Alam untuk membatalkan putusan tersebut. Namun sampai tingkat PK, Mahkamah Agung tetap memenangkan Kementerian LHK selaku penggugat, putusan bersifat inkracht dan harus dieksekusi.
Sudirman menuturkan, untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue.
Baca juga: Dua karyawan perkebunan diperiksa terkait karhutla di Nagan Raya Aceh
Baca juga: Luas Karhutla di Nagan Raya Aceh sudah mencapai 17,5 hektare
Sebelumnya kasus ini ditangani PN Meulaboh karena saat sengketa muncul, belum ada pengadilan di Nagan Raya sebagai daerah pemekaran baru, dan diawal 2019 PN Suka Makmue baru terbentuk, sehingga kewenangan eksekusi didelegasikan ke PN Suka Makmue.
Sejauh ini, tambah Sudirman, PN Suka Makmue memiliki penafsiran berbeda soal kewenangan atas eksekusi lelang aset PT Kallista Alam. Mereka merasa kewenangan yang diberikan tidak lengkap karena tidak ada putusan yang menegaskan mereka berhak masuk ke lokasi PT Kallista Alam dan berhak menilai aset yang akan dilelang.
"Mereka menuntut adanya amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue tidak mau masuk ke lokasi sengketa. Karena itu kita minta MA mengambil alih eksekusi ini," demikian Sudirman.
Baca juga: Hutan Rawa Tripa diperkirakan hanya tersisa 5.000 hektare
Baca juga: BKPH temukan aktivitas pengrusakan hutan lindung Rawa Tripa
Baca juga: Puluhan hektare rawa gambut Tripa terbakar
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021