Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Anggito Abimanyu mengatakan, keinginan untuk mengakomodir sebagian pengusaha mempertahankan pembatasan kenaikan besar rekening listrik (capping) maksimal sebesar 18 persen pada 2011 akan berdampak serius terhadap kondisi keuangan negara.
Saat berbicara dalam diskusi tentang pembatasan kenaikan besar rekening listrik di Jakarta, Rabu, ia menjelaskan bila pembatasan kenaikan besar rekening listrik sebesar 18 persen tetap dipertahankan maka negara harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,1 triliun untuk penambahan subsidi listrik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011.
Menurut dia, dana tambahan subsidi listrik sebesar Rp2,1 triliun itu hanya akan dinikmati oleh 9.771 pelanggan dari total sekitar 48.117 pelanggan listrik industri.
"Dari dana Rp2,1 triliun itu sebanyak Rp1,1 triliun diantaranya dinikmati oleh 304 pelanggan industri," kata mantan Ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu.
Selain menimbulkan dampak fiskal serius, dia melanjutkan, pembatasan kenaikan besar rekening listrik industri selama tahun 2011 juga akan menimbulkan disparitas harga jual listrik di kalangan pelaku usaha atau industri, antara pengusaha yang mendapat dan tidak mendapat manfaat pembatasan kenaikan besar rekening listrik.
"Pelaksanaan `capping` juga tidak didukung peraturan jelas karena Undang-undang Nomor 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 maupun Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 tahun 2010 tidak menyebut pasal tentang `capping`," katanya.
Ia menambahkan, jika kebijakan itu tetap dilakukan selama tahun 2011 maka pemerintah dan DPR RI harus terlebih dulu merevisi undang-undang tentang APBN 2011.
Di pihak lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan saat ini pelaku usaha dan industri masih membutuhkan pembatasan kenaikan besar rekening listrik maksimal 18 persen untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan tarif listrik.
Kalaupun akhirnya pembatasan kenaikan besar rekening listrik tetap dihentikan, ia meminta pemerintah dan DPR RI segera memutuskan besar kenaikan rekening listrik bagi pelaku industri.
"Kami ingin kepastian, kalau naik berapa besar, putuskan itu bersama DPR berapa kenaikan harga yang baik," katanya. Ia juga mengatakan bahwa kenaikan tarif listrik bagi industri berpengaruh terhadap kelangsungan ratusan ribu industri, dari yang besar, menengah sampai kecil.
Lebih Efektif
Lebih lanjut Anggito menjelaskan bahwa sebenarnya efisiensi untuk menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik lebih efektif mengatasi masalah yang dihadapi PT PLN.
"Dari penurunan BPP sebesar lima persen saja, PLN akan bisa mendapatkan hampir Rp8 triliun, jauh lebih besar dari penerimaan yang diperoleh dengan menaikkan tarif listrik.
Dari kenaikan tarif listrik sebesar lima persen, yang diperoleh cuma Rp4,5 triliun," katanya.
Namun, menurut dia, pemerintah harus menjamin pasokan energi primer untuk PLN supaya perusahaan negara itu bisa menyediakan pasokan listrik secara berlanjut tanpa harus melakukan pemadaman bergilir.
Setelah tarif baru tenaga listrik 2010 diterapkan tanggal 1 Juli 2010 sebagian pengusaha keberatan karena kenaikan rekening sebagian pelanggan sampai 30 persen lebih.
Pemerintah kemudian mengakomodir keberatan sebagian pengusaha dan atas persetujuan Komisi VII DPR RI disepakati metode pembatasan kenaikan besar rekening listrik maksimal 18 persen.
Namun PT PLN kemudian mencabut pembatasan kenaikan besar rekening listrik industri per Januari 2011. (*)
(T.M035/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011