Kairo (ANTARA News) - Para pemrotes di Mesir bertarung melawan polisi dan aktivis pro-rejim untuk mengusir penguasa lama mereka dan menggantikannya melalui pemilu bebas, namun mereka mungkin menghadapi kesulitan lain yang harus diatasi: konstitusi, demikian AFP melaporkan.
Dalam demo selama dua minggu, para pemrotes menyatakan dengan jelas tuntutan pertama mereka yakni pengunduran diri dengan segera Presiden Hosni Mubarak, yang telah memerintah mesir selama 30 tahun, lebih lama dibanding lawan-lawannya yang lebih muda yang pernah hidup.
Sejauh ini, dia telah berusaha untuk menenangkan mereka dengan menunjuk wakil presiden pertama kalinya, janji tidak akan mencalonkan diri pada pemilu September dan menawarkan keringanan persyaratan calon presiden.
Para pemrotes tetap bersikeras menuntut kepergiaannya, namun sejumlah aktivis dan pakar memperingatkan bahwa bahasa konstitusi mengartikan kepergiannya yang segera sesungguhnya dapat melumpuhkan transisi demokratis Mesir.
"Dokumen tersebut telah dipasangi bom," tulis pakar Timur tengah Nathan Brown dalam majalah Kebijakan Luar Negeri, menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengubahnya terletak secara eksklusif pada Mubarak.
"Bagi mereka yang mencoba membawa Mesir menuju demokrasi ... masalahnya sekarang adalah bagaimana memaksa rejim itu merundingkan syarat-syarat transisi dengan jujur," katanya.
Jika Mubarak turun, konstitusi meminta pemilu presiden dalam 60 hari, namun pembatasan pencalonannya sebenarnya menjaminkan jabatan puncak tersebut bagi anggota Partai Nasional Demokratnya yang berkuasa.
"Akan menjadi malapetaka menyelenggarakan pemilu presiden menurut konstitusi yang ada sekarang," kata Hossam Bahgat, direktur eksekutif Inisiatif bagi Hak-hak Pribadi Mesir.
Amendemen yang dibuat Mubarak sendiri memaksakan "persyaratan yang mustahil" bagi bakal kandidat, yang dimaksudkan guna memastikan "agar dia atau anaknya atau kandidat pilihannya menang, dan bahwa tidak ada kandidat kredibel lainnya bisa menang," katanya.
Bahgat dan lainnya berpendapat bahwa jalan tengah harus dipetakan, mempertahankan Mubarak secara temporer sehingga dia dapat memulai reformasi konstitusional, mendelegasikan kekuasaan dan mengawal pemerintahan transisional luas.
"Kami akan senang tentu saja untuk mengawali tanpa catatan kotor, namun masalahnya sekarang adalah, sesuai saran perubahan, kami jauh lebih membutuhkan konstitusi daripada Mubarak dan rejimnya," katanya.
Para reformis lain sepakat. Sebuah kelompok yang menyertakan pengusaha penting Naguib Sawiris, analis Amr Hamzawy dan jurnalis Salama Ahmed Salama menjelaskan usulan reformasi mereka di halaman surat kabar independen Al-Shorouk.
Dan sebuah kelompok hak asasi Mesir bahkan telah merancang jadual 15 hari dimana amandemen konstitusi dapat dirancang dan diputuskan.
Saran-saran tersebut berisi poin-poin utama yang sama.
Mereka ingin Mubarak pertama-tama mendelegasikan kekuasaannya dulu kepada sejumlah wakil presiden, secara efektif mencopot kekuasaan jabatannya untuk melakukan apapun selain mengamendemen konstitusi dan mencabut undang-undang darurat Mesir.
Presiden kemudian akan mengajukan amendemen atas sejumlah artikel paling kontroversial dari konstitusi tersebut, termasuk artikel 76 yang mengatur pencalonan dan artikel 77 yang mencabut batas masa kepresidenan.
Sejalan dengan konstitusi, amendemen tersebut kemudian akan diadopsi legislatif Mesir, dalam sidang terakhirnya sebelum dibubarkan.
Akhirnya, amendemen tersebut akan diajukan dalam referendum, dan pemilu presiden dan parlemen baru akan diselenggarakan sesudah diadopsi.
Proses itu dapat memberikan "jalan keluar krisis besar yang mengganggu negara dan warganya," kata tulisan kelompok itu dalam Al-Shorouk.
Bagi sejumlah demonstran di jalanan, proposal itu tidak kena, memberi Mubarak jalan untuk meninggalkan pengaruh atas masa depan Mesir dan memegang kekuasaan sedikit lebih lama.
Bahgat mengakui, sejumlah pemrotes melihat proposal konstitusional itu sebagai konsesi terhadap rejim yang paling dibenci. Akan tetapi dia mempertahankannya karena esensial.
"Apa yang telah kita capai sejauh ini sangatlah besar," katanya. "Namun dalam beberapa hal kita harus melangkah dari demonstrasi ke transisi menuju demokrasi. (ANT/K004)
Pewarta: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011