Jakarta (ANTARA) - Seperti biasa, setiap mendapat amanah dan tugas pengabdian baru, saya selalu mencari kesempatan merenung. Duduk tafakkur. Termasuk setelah terpilih menjadi Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten. Saya tercenung, setelah tahu walau sedikit, potensi provinsi pecahan Jawa Barat ini. Terutama potensi pemilih pemula di lingkungan pendidikan.
Sebagai provinsi yang lekat dengan kehidupan keagamaan, Banten menyimpan jejak panjang sejarah kesultanan. Tapak magis Sunan Gunung Jati melekat di sini. Ia menurunkan Sultan Ageng Tirtayasa. Kharakteristik daerah ini sangat khas dalam khazanah kebudayaan nasional. Persis Nanggoe Aceh Darussalam atau DI Yogyakarta. Ia memiliki lembaga pendidikan Islam dengan jumlah sangat melimpah.
Berbeda dari Yogyakarta yang dikenal sebagai "Kota Pelajar", Banten populer sebagai "Tanah Ulama dan Santri". Setelah jadi provinsi ke-30, Banen juga dijukuki "Tanah Jawara". Ribuan pondok pesantren menyebar hingga di sudut-sudut kampung. Menjelma jutaan pasak yang menyangga masyarakat Banten. Mereka menyimpan potensi besar jumlah pemilik hak suara. Di Jawa Tengah ada Kendal "Kota Santri" dan "Bumi Wali" di Tuban, Jawa Timur.
Sebagai pesta demokrasi, kita ingin semua pengguna hak pilih ini bisa menggunakan haknya setiap ada pemilihan umum (pemilu). Santri dan pesantren, seperti komunitas masyarakat lainnya, memiliki tanggungjawab yang sama dalam mempersiapkan regenerasi kepemimpinan. Dari tingkat daerah hingga pusat.
Baca juga: Para santri diharapkan jadi perekat di tahun politik
Koresponden Desa
Tentu saja, lumbung pemilih pemula, dalam artian masyarakat pemuda dari kalangan pelajar, bukan semata ada di pesantren. Kalau dalam konteks ini kita menyebut lembaga tersebut, itu semata bentuk takzim dan penghormatan kita kepada alim ulama, para pengasuh pondok pesantren.
Sebab, antara lain, karena komunitas inilah, Banten jadi provinsi yang khas. Paling tidak, untuk tahun pertama penugasan di KPU Banten, kami mempertimbangkan sejumlah terobosan dalam Pemilu 2024 mendatang. Terobosan meliputi kursus jurnalitik, partisipasi, dan pendataan pemilih.
Kursus jurnalistik tidak hanya untuk pegawai KPU se Banten, tapi juga melibatkan "stakeholder" lain dan juga lembaga sosial. Para peserta non KPU nantinya akan menjadi koresponden desa dan diharapkan mampu memperkuat basis informasi tentang penyelenggaraan Pemilu hingga ke tingkat desa/ kelurahan.
Peserta kursus tidak hanya dibekali teori menulis berita dan pengambilan foto tapi juga akan dilatih membuat narasi di media sosial. Tak hanya diberikan teori, para peserta juga akan dimentori oleh wartawan-wartawan senior dari media ternama.
Baca juga: Santri diingatkan tak perlu berantem karena pemilu
Jambore Santri
Sedangkan untuk partisipasi pemilih, KPU Banten akan mengajak para santri pondok pesantren. Bentuk kegiatannya sedang dirumuskan. Konsep kegiatan yang sedang disusun akan berbeda dengan bentuk sosialiasi yang sudah pernah digelar pada umumnya. Konsep kegiatan bersifat edukatif, fun, dan penuh permainan.
Pendekatan terhadap para santri sangat penting. Sebab, selama ini Banten dikenal sebagai lumbung santri. Dari data Kementerian Agama, jumlah Pondok Pesantren di Banten kurang lebih ada 4.579 buah. Selama pemilu nasional maupun pilkada, para santri yang menghuni pondok pesantren ini, mesti dibangkitkan kepeduliannya.
Padahal, para santri itu juga calon-calon pemilih potensial sama seperti sekolah-sekolah umum lainnya. Diharapkan, dengan menyentuh para santri itu, partisipasi pemilih di wilayah Banten akan meningkat. Paling tidak, langkah mengangkat marwah santri perlu dilakukan, untuk menjaga status Banten sebagai Tanah Ulama dan Santri.
Data KPU Banten menyebut, pada Pemilu 2019, dari 8.517.336 pemilih, angka partisipasi pemilih mencapai 79,23 persen atau 6.791.166 orang pemilih. Angka ini sedikit meleset dari yang ditargetkan pemerintah Banten sebesar 80 persen.
Baca juga: Menag: Santri punya pengalaman gunakan hak pilih
Menata Pendataan
Selain partisipasi, KPU juga akan mulai menata pendataan pemilih. Pendataan pemilih ini sangat penting karena dalam lima tahun ini tentu ada dinamika yang berkembang di masyarakat. Ada yang meninggal, yang pindah atau datang, dan pemilih pemula yang sebelumnya belum memiliki hak pilih.
Sebab, pemilih pemula tidak saja mereka yang baru pertama menggunakan hak pilihnya karena faktor kecukulan usia. Tapi juga kelompok masyarakat yang sudah cukup umur tetapi aturan dan hukum tidak membolehkan mereka menggunakan hak pilih. Misalnya para aparat militer dan kepolisian yang sudah purnatugas. Bagi mereka, ikut pemilu adalah hal baru.
Kerapian data, tentu akan menentukan proses kelancaran Pemilu. Sering masalah nuncul pada setiap tahapan Pemilu, akibat data tidak sinkron. Dan, setiap penyelenggaraan pemilu atau pilkada, biasanya masalah ini selalu muncul. Sejumlah sengketa di mahkamah konstitusi, sering bersumber dari masalah data pemilih.
Berdasar Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan periode September tahun 2021 di Provinsi Banten berjumlah 8.174.014 pemilih dengan rincian pemilih laki-laki berjumlah 4.122.128 pemilih dan pemilih perempuan berjumlah 4.051.886 pemilih, tersebar di 8 kabupaten/kota.
Terdapat 6.795 pemilih baru dan Pemilih Tidak Memenuhi Syarat sejumlah 4.620 pemilih, terdiri atas 1.533 pemilih meninggal dunia, 78 pemilih ganda, 2.585 pemilih pindah domisili, 63 Polri, 30 TNI, 4 pemilih di bawah umur, dan 327 pemilih bukan penduduk.
Ketiga program itu, yakni kursus jurnalistik, jambore dan penataan data pemilih, akan dijalankan mulai tahun depan. Dengan berjalan lebih awal, diharapkan, masalah partisipasi dan pendataan bisa tertata dengan dengan baik. Sehingga ketika Pemilu berlangsung, kekurangan-kekurangan bisa diminimalisir.
*) Ferry Syahminan adalah Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU), Provinsi Banten
Copyright © ANTARA 2021