Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 7 Oktober 2021 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang di dalamnya mengatur tentang pengenaan pajak baru yaitu pajak karbon.

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan untuk pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya.

Pemerintah akan memberlakukan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) yang berlaku mulai April 2022, dengan periode 2022-2024 akan dikenakan untuk sektor pembangkit listrik yang menggunakan batu bara.

Pemberlakuan pajak karbon itu sendiri merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk mengakselerasi upaya mitigasi perubahan iklim dan mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tertuang dalam National Determined Contribution (NDC).

Indonesia, sebagai salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, mengetahui betul pentingnya upaya pengendalian perubahan iklim.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanti mengatakan perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak kepada masyarakat tapi juga bagi ekosistem yang ada di Tanah Air.

Salah satu ekosistem terdampak itu adalah mangrove (bakau) dengan peningkatan suhu udara dan permukaan laut serta perubahan intensitas curah hujan secara umum akan berpengaruh terhadap ekosistem mangrove dan jasa ekosistem yang dihasilkan. Hal itu akan berdampak juga terhadap masyarakat sekitar yang bergantung kepadanya.

Beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah, dimulai dengan menargetkan rehabilitasi lahan mangrove, sebagai bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dari sisi mitigasi, mangrove memiliki potensi karbon biru atau blue carbon untuk menyerap dan menjaga karbon yang berada di bawah tegakan vegetasinya.

Sementara sisi adaptasi membutuhkan ekosistem mangrove yang sehat untuk menjaga masyarakat dari dampak kenaikan air laut seperti peningkatan gelombang dan arus laut.

"Keberadaan ekosistem mangrove yang baik dan sehat diharapkan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap perubahan iklim. Hal ini akan membantu masyarakat di sekitar ekosistem mangrove untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan lebih baik," tegas Laksmi.

Baca juga: Presiden Jokowi ingin daerah lain mencontoh rehabilitasi mangrove Bali

Baca juga: Presiden ke Bali tinjau penanaman Mangrove dan lokasi KTT G20

Penurunan deforestasi

Kepala Pokja Perencanaan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Noviar menjelaskan bahwa pihaknya sendiri sudah merumuskan peta jalan untuk percepatan rehabilitasi mangrove sampai 2024.

Beberapa upaya yang tertuang dalam peta jalan itu seperti mempertahankan mangrove yang dalam kondisi baik, meningkatkan mangrove yang terlanjur dimanfaatkan dan memulihkan mangrove kritis.

BRGM dalam peta jalan itu menargetkan pemulihan 120.000 hektare di ekosistem mangrove dengan kondisi tutupan terbuka atau jarang, meningkatkan kondisi 180.000 hektare lahan dengan kondisi tutupan jarang sampai sedang dan mempertahankan 300.000 hektare dengan kondisi tutupan rapat.

Tidak hanya dari ekosistem gambut, kehutanan juga menjadi salah satu sektor yang menjadi sorotan dalam usaha penanggulangan perubahan iklim. Hal itu karena kehutanan memiliki porsi terbesar dalam target penurunan emisi GRK.

Dari target 29 persen atas usaha sendiri sektor kehutanan ditargetkan mengurangi 17,2 persen, energi 11 persen, limbah 0,38 persen, pertanian 0,32 persen dan industri 0,10 persen.

Sementara pencapaian pengurangan 41 persen dengan bantuan internasional, sektor kehutanan ditargetkan berkontribusi 24,1 persen. Dengan sektor energi 15,5 persen, limbah 1,40 persen, industri 0,11 persen dan pertanian 0,13 persen.

Salah satu langkah yang digunakan untuk memastikan terjaganya luas tutupan hutan adalah menghentikan perizinan baru perkebunan sawit di kawasan hutan. Meski moratorium izin telah berakhir pada 19 September 2021, Menteri LHK Siti Nurbaya berencana tetap menghentikan pemberian izin.

Langkah itu diambil salah satunya karena pemerintah berkomitmen menuju penyerapan bersih atau net sink karbon pada 2030 di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and land use/FOLU) seperti yang tertuang dalam dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050 itu, yang bersama pembaruan NDC telah diserahkan jelang Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) pada November 2021, ditegaskan juga ambisi Indonesia untuk mencapai puncak emisi GRK pada 2030.

Langkah-langkah tersebut mulai membuahkan hasil dengan telah terjadi penurunan deforestasi pada 2019-2020 sebanyak 78 persen yaitu sebesar 115 ribu hektare, sebuah tingkat penurunan deforestasi terendah sejak 1990.

Luas area kebakaran hutan dan lahan juga mengalami penurunan. Data KLHK memperlihatkan pada 2021 terdapat 160.104 hektare lahan yang terbakar sejauh ini. Jumlah itu masih di bawah area terbakar pada 2020 seluas 296.942 hektare dan 1.649.258 hektare pada 2019.

Rehabilitasi lahan juga terus dilakukan dengan 3,74 juta hektare lahan gambut direhabilitasi melalui kegiatan pembasahan kembali dan pembinaan pengelolaan gambut pada 600 ribu hektare areal masyarakat.

Pada 2020, telah dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan di 1,53 juta hektare serta rehabilitasi mangrove 18 ribu hektare.

Baca juga: KLHK tekankan daerah dengan TPA "open dumping" tidak dapat adipura

Baca juga: Setiap hari, 900 ton sampah warga Depok ditampung di TPA

Sektor limbah

Persoalan perubahan iklim bukan hanya terkait karbon yang dihasilkan karena berkurangnya hutan, lahan gambut, ekosistem mangrove dan juga emisi yang dihasilkan sektor energi.

Namun, ada persoalan emisi dari pengelolaan limbah yang kurang tepat seperti penggunaan tempat pembuangan akhir (TPA) jenis open dumping atau pembuangan terbuka dan pembakaran sampah di alam bebas.

Beberapa aksi mitigasi perlu dilakukan untuk mengurangi limbah padat yang dikelola di TPA yaitu pemanfaatan sampah menjadi kompos, daur ulang melalui bank sampah atau Tempat Pengolahan Sampah 3R dan pemanfaatan sampah menjadi refuse-derived fuel (RDF) yaitu bahan bakar yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah.

Dilakukan juga pengurangan emisi metana melalui penerapan landfill gas (LFG) recover yang diimbangi dengan rehabilitasi TPA open dumping menjadi sanitary.

Mengacu pada target NDC sektor limbah pada 2030, teridentifikasi target penurunan emisi GRK pada 2020 adalah sebesar 1.279.467 ton CO2e. Sementara capaian reduksi emisi sektor limbah padat domestik pada 2020 adalah 111.890 ton CO2e.

Menurut Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar, untuk mencapai target 2030 diperlukan 100 kali lipat hasil dari capaian pada 2020.

"Sepuluh tahun ini tentu akselerasinya harus kita tingkatkan," kata Novrizal.

Untuk itu, rencana pelaksanaan NDC hingga 2030 di sektor limbah berfokus pada intervensi pembangunan sarana prasarana pengelolaan sampah dan mendorong penerapan ekonomi sirkular.

Salah satu contoh pembangunan sarana sendiri berfokus pada pemanfaatan sampah menjadi energi dengan pembangunan sarana di 12 kota. Pembangunan infrastruktur pengolahan sampah menjadi energi listrik itu diperkirakan akan mengolah 18.000 ton sampah per hari dan memiliki potensi reduksi GRK 4,243 juta ton CO2e per tahun.

Selain itu terdapat rencana pengolahan sampah untuk dimanfaatkan kembali baik sebagai kompos maupun didaur ulang. Terdapat juga target memanfaatkan sampah kertas untuk menjadi bahan industri daur ulang, dengan Novrizal mengatakan pada 2030 ditargetkan semua bahan baku akan dihasilkan secara domestik.

Target lain yang ingin diraih untuk mencapai target pengurangan emisi di sektor limbah adalah peniadaan TPA open dumping. Untuk mencapai itu salah satunya dilakukan dengan pendekatan Adipura di mana wilayah dengan TPA open dumping tidak akan mendapatkan penghargaan lingkungan tersebut.

Dengan demikian diharapkan 2030 tidak akan ada lagi TPA open dumping di 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.*

Baca juga: Karawang tinggalkan pengolahan sampah "open dumping"

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021