Jayapura (ANTARA) - Dewi Ulfah, pegulat putri Kalimantan Timur yang tiga kali menjadi juara dalam tiga Pekan Olahraga Nasional sebelum ini, terpaksa harus mengakhiri catatan hebatnya itu setelah hanya bisa mendapatkan medali perunggu pada PON Papua.
Dia juga gagal menutup karirnya dengan medali emas karena PON di Bumi Cenderawasih ini adalah PON yang terakhirnya.
Dewi gagal menjadi juara PON yang keempat kalinya setelah bertekuk lutut kepada pegulat Jawa Timur Candra Marimar.
Dia harus menyerahkan gelar juara gulat gaya bebas kelas 53kg setelah dihentikan Candra pada babak semi final nomor ini di GOR Head Sai, Merauke.
Candra pula yang akhirnya memenangkan medali emas nomor ini setelah mengalahkan Eka Setiawati dari Jawa Barat dalam laga final.
Mengalahkan Dewi dalam semifinal ternyata bukan kebetulan bagi Candra karena dia melanjutkan kejutannya dengan menumbangkan Eka Setiawati yang terpaksa membawa pulang medali perak.
Pada partai puncak nomor ini, peraih perak kejuaraan South Asian Championship Kadet/Yunior di Thailand 2017 itu langsung bermain agresif dan tak butuh lama bagi Candra untuk mengumpulkan empat poin.
Baca juga: Penantian Shintia Eka berbuah emas gulat PON Papua
Eka mencoba menjegal namun manuver itu justru menjadi bumerang saat Candra membalikkan keadaan dan menahan sang lawan di atas matras demi menang dengan jatuhan.
Akan halnya Dewi. Pegulat senior ini harus puas dengan medali perunggu. Dewi bersedih, tapi dia juga ikhlas kepada apa yang diraihnya itu.
" Saya sangat sedih usai pertandingan itu, namun saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Para pelatih dan saudara juga terus memberikan dukungan kepada saya untuk berbesar hati," kata Dewi Ulfah di Jayapura, Minggu.
"Akhirnya saya harus mengikhlaskan penutup karier saya di peringkat ketiga," sambung dia.
Dewi Ulfah adalah atlet gulat putri paling senior yang berlaga dalam ajang PON XX Papua. Dia adalah peraih medali emas pada tiga PON sebelum ini, masing-masing pada PON 2008 di Kalimantan Timur, PON Riau 2012 dan PON Jawa Barat 2016.
Karena munculnya batasan usia untuk pegulat yang tampil dalam sebuah turnamen nasional, maka perempuan kelahiran Samarinda pada 13 April 1988 itu bertekad mengakhiri kariernya dengan merebut lagi gelar juara PON yang keempat kalinya.
" Harus diakui saya buta akan kekuatan lawan karena pada saat pra-PON, pegulat Jawa Timur yang saya hadapi bukan yang ini, ternyata pesaing saya itu naik kelas karena ada strategi rotasi dari pelatih daerahnya," beber Dewi.
Dewi mengungkapkan bahwa gaya bermain pegulat Jawa Timur yang satu ini berbeda dari pegulat-pegulat gaya bebas putri lainnya. Dewi melihat Candra bermain gesit sekali dengan menggunakan teknik gaya greko dengan lebih banyak melancarkan serangan dari atas.
" Pertandingan berjalan cukup berimbang karena saya maupun lawan saling kejar-kejaran poin, namun harus saya akui banyak serangan bantingan lawan yang masuk sehingga dalam penghitungan akhir, saya dinyatakan kalah," papar Dewi.
Baca juga: Jatim borong dua emas hari pertama gulat
Tidak ada tolok ukur
Menurut Dewi, banyak faktor yang menyebabkan dia gagal mempertahankan prestasi emas PON yang sudah tiga kali berturu-turut dia torehkan. Salah satu yang bisa disebut adalah persiapan yang kurang maksimal karena terbentur keadaan yang berkaitan dengan pandemi COVID-19.
Pandemi, lanjut Dewi, membuat persiapan yang dilakukan tim gulat Kalimantan Timur hanya memaksimalkan latihan di daerah di mana para pegulat lapis kedua dijadikan sebagai lawan tanding untuk pegulat utama seperti dia.
" Tentunya kami merasa tidak ada tolak ukur, karena yang kita hadapi dalam latihan monoton atlet itu-itu saja, sementara atlet provinsi lain sempat melaksanakan latih tanding ke luar negeri," kata Dewi, setengah menyesali.
Dewi adalah atlet gulat angkatan pertama sejak gulat putri dipertandingkan dalam turnamen-turnamen nasional pada 2002.
Dia mengungkapkan, para pegulat seangkatan dia dan seusia dia sudah banyak yang gantung sepatu. Mereka terakhir menjajal satu sama lain pada PON Riau 2012.
" Makanya saat PON Papua ini saya dikira pelatih, padahal saya masih berstatus sebagai atlet," kata Dewi.
Baca juga: Elvi atlet Sumbar pertama raih medali di PON Papua klaster Merauke
Meski tengah mempersiapkan pensiun sebagai pegulat, Dewi mengaku tidak akan meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya.
Dia ingin menjadi perempuan pelatih gulat putri yang menurutnya jarang sekali ada di Indonesia.
" Satu- satunya pelatih gulat putri yang ada yakni Tetty dari Jawa Barat," imbuh Dewi.
Pelatih gulat Kalimantan Timur Rudiansyah sendiri mengakui regenerasi pegulat di daerahnya mulai terkikis dan sudah tidak lagi bisa mendominasi cabang olahraga ini dalam level nasional.
" Pada beberapa kali kejurnas junior, Kaltim terlewati oleh daerah lainnya dan gagal menjadi juara umum," jelas Rudiansyah.
Menghadapi kondisi seperti ini, Rudiansyah mengharapkan peran aktif pegulat Kalimantan Timur dalam turut mencari bibit baru yang bisa dibina menjadi pegulat andal.
" Tentunya kami berharap para atlet yang akan pensiun tidak meninggalkan dunianya. Mari sama- sama membangun kembali gulat Kaltim menuju kejayaannya," kata Rudiansyah.
Ketua Bidang Prestasi KONI Kalimantan Timur Buyamin sependapat dengan ide menggiatkan pembinaan pegulat usia dini, karena mayoritas pegulat daerah ini berasal dari atlet lokal yang dibina dan dilatih sampai akhirnya bisa menjadi pegulat andalan baik untuk daerah maupun nasional.
" Dulu zaman masih susah kita bisa, kenapa sekarang tidak bisa? Harus ada upaya dan kerja keras untuk meramaikan kembali kejuaraan gulat di daerah, agar bermunculan talenta pegulat di masa mendatang," pungkas Buyamin.
Baca juga: Desi Sinta sumbang emas Banten dari gulat gaya bebas 68 kg
Pewarta: Arumanto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2021