Pasalnya, lanjut dia, sudah ada payung hukum terkait penggunaan 40 persen anggaran pengadaan barang dan jasa untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
"Produk bambunya agar dimasukkan ke katalog. Bisa dibantu melalui asosiasi berkomunikasi dengan KemenkopUKM agar bisa terhubung dengan katalog, baik pemerintah daerah (pemda), LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah), hingga BUMN," ungkapnya saat berdialog dengan para anggota Asosiasi Dunia Bambu Sukabumi, di Sukabumi, Jawa Barat, sebagaimana tertera dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu.
Dia menyatakan bahwa pihaknya memiliki perhatian pada UMKM yang memiliki potensi ekspor untuk dapat menghasilkan UMKM naik kelas, dan produk bambu dinilai memiliki potensi pasar yang baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam hal ini, Arif menganggap yang perlu diperhatikan dalam pengembangan produk UMKM adalah model bisnis terutama terkait agregator dan offtaker
"Memang, tujuan kita pasti agar bisa ekspor sendiri, namun itu bertahap. Langkah awal, kita perlu mencari mitra-mitra. Itu bisa dibantu melalui Kemenkop-UKM agar dapat menemukan partner yang saling menguntungkan," jelas dia.
Apalagi, tutur Arif, saat ini Indonesia sedang dilakukan pengembangan desa wisata. Karena itu, pembangunan rumah hingga gazebo dari bambu tersebut juga sejalan dengan program pengembangan Desa Wisata.
Setelah melihat potensi nyata di lapangan, utaranya, akan diberikan dukungan agar kerajinan bambu yang sudah punya pasar ini lebih baik dalam segi pemasaran baik untuk domestik maupun internasional
Menurut Arif, hal itu bisa dimulai dengan pemda Sukabumi menggunakan produk bambu seperti menggunakan joglo atau kafe di pemda yang terbuat dari bambu, agar nanti bisa dicontoh kabupaten lain terutama yang memiliki wisata alam.
Nantinya, dikatakan Kemenkop-UKM akan berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang memiliki program pembinaan desa wisata.
Sebagai langkah awal, Arif menyarankan mereka harus mempelajari peluang-peluang yang ada.
"Peluang pertama terkait pembiayaan yang sudah disediakan melalui program-program pemerintah yang bisa dimanfaatkan hingga ke sini," ucap Arif.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Dunia Bambu Sukabumi Agus Ramdhani menginginkan produk-produk craft di Sukabumi dipadukan dengan budaya digitalisasi dan literasi untuk mengikuti kemajuan teknologi
Namun, ia mengakui belum memiliki teknologi tepat guna dan harga juga belum ekonomis. Jika ada teknologi tepat guna sudah berjalan, akunya, akan lebih efektif.
Agus menambahkan, sebagian besar dari 100 orang anggota asosiasi sudah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Bahkan, dinyatakan produk-produk yang dihasilkan juga sudah ekspor ke negara-negara di Timur Tengah.
"Bambu sudah memiliki pasarnya, khususnya di Timur Tengah. Harga ekspor maksimal ada di angka 2 dollar AS, kapan perajin bisa sejahtera ketika hanya menerima 2 dollar saja," sebutnya.
Adapun jenis produk yang diekspor mulai dari kaligrafi, gantungan kunci, hingga bahan dasar untuk perabotan rumah.
Asosiasi juga disebut memiliki 13 turunan produk bambu, antara lain kuliner seperti rebung yang diolah menjadi sayur, kripik, hingga tepung.
Kemudian, peralatan hotel seperti sendok garpu hingga sikat gigi yang sudah diminta hotel sebanyak 500 pcs per bulan dengan harga Rp1000.
Oleh karena itu, Agus mengungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan teknologi tepat guna agar dapat menekan biaya produksi lebih efektif dan efisien.
Baca juga: Berkat medsos, produk anyaman Gianyar tembus ke Spanyol dan Italia
Baca juga: LPEI-Kemenkeu sinergi latih UMKM Indonesia Timur masuk pasar ekspor
Baca juga: Dorong promosi produk lokal, Kemendag resmikan kantor baru ITPC Dubai
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021