Ambon (ANTARA News) - Kehidupan salah satu suku terasing Nuaulu dari Pulau Seram dipentaskan dalam sendratari tradisional oleh Sanggar Seni Siwalima di gedung teater tertutup Taman Budaya, Ambon, Sabtu sore.
"Aminiane amarou mai rei (kami masyarakat berkumpul di sini)," teriak salah seorang penari yang memerankan kepala suku Nuaulu saat membuka Sendratari Daur Kehidupan Suku Nuaulu.
Pementasan tarian tradisional kontemporer garapan Dorry Matauseja itu dibawakan oleh sekitar 40-an penari remaja dan anak-anak, diiringi dengan kapata (syair-syair kuno dalam bahasa Alune atau bahasa Pulau Seram) dan tabuhan tifa, totobuang, serta toleng-toleng yang ditata secara apik oleh Bartje Istia.
Pertunjukan ini sendiri mengisahkan kehidupan masyarakat suku Nuaulu yang dimulai dengan cerita tentang kisah kasih sepasang muda-mudi, sehingga si wanita mengandung.
Perempuan yang telah hamil ini diasingkan bersama dukun beranak di pasune (rumah pengasingan untuk wanita hamil yang terletak di pinggir hutan) hingga 40 hari sesudah melahirkan.
Sementara itu, si laki-laki atau suami pergi berburu untuk mempersiapkan pesta syukuran kelahiran anak mereka dan upacara penjemputan istri dan anaknya untuk dibawa pulang ke rumah.
Anak perempuan yang sudah dewasa ditandai dengan dipakaikan perhiasan dan tusuk konde oleh ibunya dan dukun beranak yang membantu proses kelahirannya. Hal ini dilakukan dalam upacara adat Pinamou yang hanya dihadiri oleh kaum wanita saja.
Begitu pun dengan anak laki-laki, acara adat Pataheri hanya dihadiri oleh kaum pria saja. Biasanya lelaki dinyatakan dewasa setelah oleh pemimpin upacara adat dan ayahnya memberikan cawat untuk menutup kemaluannya dan parang sebagai senjata yang digunakan menjaga diri dan berburu oleh ayah dan pemimpin upacara adat.
Kehidupan anak-anak suku Nuaulu juga digambarkan lewat tarian dan permainan enggo basambunyi (petak umpet) dan lenterna (lentera) yang dimainkan saat purnama, hingga ayah dan ibunya mencari dan diajak pulang.
Tarian yang menggambarkan semangat saling membantu dan bersatu menjadi penutup dari Sendatari Daur Kehidupan Suku Nuaulu oleh sanggar seni Siwalima yang dipimpin oleh Stin Latuheru. (IVA/Z002/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011