"Tidak benar itu. Sebab, seperti diketahui Lambang Negara itu adalah Garuda Pancasila. Sedangkan Simbol Negara terdiri dari Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan," tegasnya kepada ANTARA, Jumat.
Kedua hal ini (Lambang dan Simbol Negara), menurutnya, diatur dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 36A dan Undang Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009.
"Akibat pernyataan-pernyataan keliru seperti itu, kita jadi khawatir jika istilah Simbol Negara telanjur memasyarakat dan mengacaukan istilah ketatanegaraan yang ada," tandasnya.
Ia mendesak segera ada klarifikasi dari para pihak yang selama ini mengusung terminologi keliru, lalu melakukan upaya `blow up` memutarbalikkan fakta di hadapan publik.
"Jika Presiden itu Simbol Negara, takutnya organ kekuasaan lain seperti DPR RI, MA dan MK juga akan mengklaim hal yang sama, karena terkait dengan kesetaraan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif pasca amandemen UUD 1945," ujarnya.
Ia menambahkan, dalam pasal (2) UU Nomor 24 Tahun 2009 itu juga menyebutkan, pengaturan bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai `simbol` identitas wujud eksistensi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan berdasarkan sejumlah azas.
Yakni, azas persatuan, kedaulatan, kehormatan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
"Kalau Presiden, Wapres bisa berganti. Tapi bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan tidak akan pernah berganti. Ini jelas tentang simbol yang menjadi identitas suatu negara," katanya.
Bambang Soesatyo lalu menunjuk Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 delik penghinaan terhadap kepala negara, yaitu pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Bahkan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," tandasnya.
Karenanya Bambang Soesatyo mempertanyakan, di mana ketentuan dan UU yang dapat menjerat rakyat menyalurkan aspirasi serta kekecewaannya melalui pengumpulan koin?
"Ini kan soal kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin UU," tegasnya lagi.
Bambang Soesatyo kemudian mengingatkan para pihak tertentu yang selalu menjadikan dirinya hanya sebagai alat kekuasaan, agar berhati-hati memilih bahasa atau pasal dalam UU serta UUD 1945 ketika berhadap-hadapan dengan rakyat.(*)
(M036/I007)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011