Jakarta (ANTARA) - Sinyal pengurangan pembelian aset alias tapering off dari Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed semakin jelas belakangan ini, terutama setelah hasil risalah pertemuan pada September 2021.
Otoritas melalui pidato Gubernur Fed Jerome Powell mengonfirmasi untuk memulai pengurangan pembelian aset obligasi pada akhir tahun 2021, namun tren suku bunga rendah akan tetap dipertahankan setidaknya sampai tahun 2022.
Head of Investment Strategy Bank of Singapore Eli Lee memperkirakan Fed akan menunggu sampai akhir November 2021, sebelum mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengurangi laju pembelian obligasi senilai 120 miliar dolar AS per bulan, yang dimulai dengan pemangkasan 15 miliar dolar AS pada Desember 2021.
Waktu yang bertahap untuk mengurangi injeksi likuiditas alias quantitative easing akan menguntungkan aset berisiko, karena The Fed masih akan mencetak uang hingga akhir 2022.
Maka dari itu, ia memproyeksikan imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun akan tetap pada tingkat yang sangat rendah, tepatnya di bawah dua persen selama 12 bulan ke depan jika Fed hanya mengurangi pelonggaran kuantitatifnya secara perlahan.
Imbal hasil surat utang AS yang rendah tentunya akan terus mendukung aset berisiko.
Wealth Management Head Bank OCBC NISP Juky Mariska pun berpendapat suku bunga Fed masih akan tetap dipertahankan di level saat ini walaupun terdapat lonjakan inflasi karena dinilai bersifat sementara.
Fed juga meyakini bahwa pemulihan sektor tenaga kerja telah berlangsung cukup baik, namun belum kembali ke level pra-pandemi.
Akibatnya, pelaku pasar menilai bahwa pengetatan kebijakan Fed tidak akan terjadi secara agresif yang dapat mengakibatkan tantrum atau kepanikan pada pasar.
Ekspektasi tapering yang lebih bersahabat, diiringi dengan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di tengah menurunnya jumlah kasus harian COVID-19 menjadi sentimen positif bagi pasar saham.
Investor asing mencatatkan pembelian bersih di kisaran Rp4 triliun pada bulan Agustus 2021, sehingga optimisme pemulihan ekonomi lebih lanjut diharapkan dapat mendorong (Indeks Harga Saham Gabungan) IHSG untuk kembali bergerak ke kisaran 6.400 hingga 6.700 di akhir 2021, di mana pada awal Oktober ini sudah berkisar di level 6.400.
Selain itu, tapering yang diperkirakan lebih tenang juga mendorong penguatan mata uang rupiah, tercermin dari mata uang Garuda yang saat ini terus menguat di level Rp14.200 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sebelumnya juga sudah memperkirakan rencana tapering Fed memang tak akan terburu-buru, namun risiko waktu serta besaran perubahan kebijakan Otoritas Moneter AS terhadap perekonomian Tanah Air akan terus dipantau.
BI akan mengantisipasi kemungkinan tapering Fed dengan berbagai langkah, seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pasar surat berharga negara (SBN), dan kebijakan suku bunga acuan.
Seluruh kebijakan moneter tersebut yang ditambah dengan kebijakan fiskal akan menstabilisasi ekonomi domestik dengan baik dan berdaya tahan dalam menghadapi tapering Fed nantinya.
Tapering sebenarnya biasa dilakukan suatu negara saat ekonomi sudah membaik, sehingga stimulus ekonomi besar-besaran tidak lagi dibutuhkan karena kucuran dana yang terlalu banyak akan menyebabkan inflasi.
Oleh sebab itu, tapering menjadi sinyal bahwa ekonomi sudah masuk dalam tahap pemulihan setelah sebelumnya mengalami krisis atau resesi, dan langkah tersebut kini mulai dilakukan oleh Negeri Paman Sam.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat tapering merupakan usaha Amerika untuk membuat perekonomiannya tidak terlalu panas karena peningkatan inflasi dan tumbuh cepat di atas laju potensialnya.
"Tapering akan membawa perekonomian AS tumbuh di laju potensialnya, dan pada ujungnya akan berdampak positif kepada ekonomi global maupun Indonesia," ucap Purbaya.
Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan inflasi inti pada Juli 2021 sempat mencetak rekor tertingi, yakni tumbuh 5,4 persen secara tahunan (year on year/yoy), namun sedikit menurun di Agustus 2021 menjadi 5,3 persen (yoy).
Untuk itu, Purbaya menekankan agar Indonesia bisa terus menyesuaikan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dan lebih baik lagi ke depannya, agar bisa siap menghadap dampak tapering dan kembali tumbuh dengan baik setelahnya.
Saat tapering dilakukan oleh The Fed, kemungkinan akan terdapat tren keluarnya modal asing di banyak negara, terutama negara berkembang yang masih bergantung dengan dana asing, sehingga dikhawatirkan dapat menganggu stabilitas pasar keuangan negara tersebut.
Namun, hal tersebut, salah satunya bisa diatasi dengan kerja sama mata uang lokal yang kini sedang digencarkan oleh BI agar Indonesia tak lagi bergantung dengan dolar AS.
Walaupun akan sedikit memberikan dampak ke pasar keuangan Indonesia, tapering Fed yang akan membuat ekonomi Negeri Adidaya tumbuh secara potensial diyakini akan mengungkit perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Berdasarkan riset Center Of Reform on Economics (CORE), setiap kenaikan satu persen dari pertumbuhan ekonomi AS akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,07 persen.
Pengungkitan ekonomi RI oleh perekonomian AS, salah satunya kemungkinan terjadi melalui ekspor, di mana negeri tersebut merupakan salah satu pangsa terbesar ekspor Indonesia.
Pada bulan Agustus 2021, Amerika menduduki peringkat kedua pangsa ekspor terbesar Indonesia dengan nilai 2,25 miliar dolar AS, atau berperan 11,07 persen.
Maka dari itu, perbaikan ekonomi Negeri Paman Sam ke jalur potensialnya melalui tapering tentu akan memberikan peluang semakin melonjaknya nilai ekspor Tanah Air.
Bahkan tak hanya untuk Indonesia, tapering Fed, menurut Group Head of Financial Surveillance and Regional Surveillance The ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) Li Lian Ong, pada akhirnya akan menjadi tindakan penyeimbang yang hebat untuk pemulihan negara-negara ASEAN+3 pada 2022.
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021