"Ratusan lilin ini merupakan sumbangan dari para jamaat, dinyalakan sebagai ritual menyambut Imlek dan kami yakini sebagai penerang jalan hidup dan diberi masa depan yang cerah pada Tahun Baru Cina ini," kata Wakil Ketua Pengurus Kelenteng Kwan Tie Miau Pangkalpinang, Hendri Kurniawan.
Ia menjelaskan, lilin tersebut dijejer di dalam kelenteng dan dinyalakan saat melaksanakan doa bersama pada pukul 23.35 WIB. Masing-masing jamaat dengan menggunakan gaharu, mengambil api dari sumber api abadi yang terus nyala sepanjang tahun di Keleteng tersebut dan kemudian digunakan untuk menyalakan ratusan lilin tersebut.
"Lilin berukuran besar memiliki berat sekitar 500 kilo gram dan tinggi sekitar 160 centi meter itu bisa nyala hingga enam bulan yang dinyalakan mulai pukul 05.00 WIB (pagi) hingga pukul 21.00 WIB (malam)," ujarnya.
Ia tidak mengetahui secara pasti harga satu lilin berukuran besar itu, karena merupakan sumbangan dari para warga keturuna Tionghoa. Namun diperkirakan harga satu lilin berukuran besar bisa mencapai Rp3 juta hingga Rp4 juta.
"Sebagian lilin ini dibuat di Pangkalpinang dan ada yang didatangkan dari luar daerah seperti Bandung dan Jakarta. Kami mengunakan lilin baru setiap menyambut Imlek yang merupakan sumbangan dari para jamaat," ujarnya.
Ia mengatakan, setiap lilin tersebut berpasangan dan dijejerkan pula secara berpasangan sebagai simbol bahwa di dunia hanya ada dua jenis, kiri dan kanan, yin dan yang, laki-laki dan perempuan.
"Para jamaat berdoa di depan Dewa Kuan Kong, merupakan dewa yang hidup pada tahun 1840 yang tetap disembah dan dipuja hingga sekarang karena kejujuran dan kesetiaannya terhadap raja pada zaman itu," ujarnya.
Ia mengatakan, prosesi doa bersama itu pada intinya meminta dengan kebesaran alam agar negara jaya dan rakyat aman serta sentosa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing dengan kesucian hati memberi dan berbuat untuk kemaslahatan umat.
"Setiap tahun, Kelenteng Kwan Tie Miau selalu ramai dikunjungi warga Tionghoa untuk sembahyang dan berdoa yang jumlahnya bisa mencapai 1.000 orang pada saat perayaan Imlek, karena Kelenteng ini terdapat di pusat kota yang mudah dijangkau warga dari setiap penjuru," ujarnya.
Ia mengatakan, kegiatan sosial juga dilakukan di Kelenteng Kwan Tie Miau yaitu membagikan sembilan bahan pokok (sembako) kepada warga yang kurang mampu sebagai bentuk kepedulian sosial dan implementasi dari nilai dan makna ibadah Imlek.
"Seminggu setelah Imlek, kami membagikan setidaknya sekitar puluhan ton beras dan jenis sembako lainnya untuk sekitar 4.000 ribu warga kurang mampu yang tersebar di setiap kelurahan di Pangkalpinang," ujarnya.
Sementara itu, seorang sesepuh agama Konghocu, Lie Fanto, mengatakan, kerukunan umat beragama di Pangkalpinang terjalin dengan baik yang ditandai hidup berdampingan, membaur dan saling menghargai satu sama lainnya.
"Kehidupan antarumat beragama di Pangkalpinang terjalin dengan baik, saling menghormati dan menghargai karena pada intinya agama itu menyeru kebaikan untuk sesama," ujarnya.
Sementara itu, seorang warga Tionghoa, Ying, mengaku sengaja datang dari Jakarta merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarga di Pangkalpinang. Tahun Baru Cina selalu dinanti dengan penuh suka cita setiap tahun.
"Saya kebetulan tinggal di Jakarta, sengaja datang ke Pangkalpinang untuk merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarga besar di kota ini. Saya mengikuti prosesi doa bersama di Kelenteng Kwan Tie Miau dan kemudian berdoa di rumah masing-masing," ujarnya. (HDI/I013/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011