Jakarta (ANTARA) - Program pembangunan jangka panjang Indonesia dalam mewujudukan ketahanan dan kemandirian energi nasional menempatkan nuklir dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang sekarang sedang digodok DPR RI.
Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) menyoroti kebijakan tersebut dan melihat adanya political will yang sangat besar untuk mengembangkan nuklir dalam RUU EBT.
"Sebagian besar pasal-pasal yang ada dalam bab ketenaganukliran justru pengulangan dari UU Ketenaganukliran yang kemudian juga beberapa sudah diubah dalam UU Cipta Kerja, sekarang muncul lagi dalam RUU EBT," kata Diputi Direktur ICEL Grita Anindarini dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Grita mencontohkan pasal terkait penyimpanan limbah lestari yang ada dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan RUU EBT.
Menurutnya, kalau dulu Undang-Undang Ketenagalistrikan mengamanatkan badan pelaksana yang menyediakan empat penyimpanan limbah lestari.
Namun, Undang-Undang Cipta Kerja mengubahnya menjadi pemerintah pusat. Kemudian dielaborasi lagi di RUU EBT muncul lagi pasalnya, pemerintah pusat menyediakan penyimpanan limbah lestari tingkat tinggi.
Selain pengulangan pasal-pasal dalam banyak undang-undang, ICEL melihat ada insentif yang sangat besar untuk pengembangan nuklir ke depannya.
Misalnya terkait dengan tempat penyimpanan limbah dibebankan kepada pemerintah, ini merupakan suatu instentif yang sangat besar karena pemerintah yang akan menanggung biayanya.
Kami melihat penyimpanan limbah radio aktif itu sangat amat mahal," ujar Grita.
Satu penyimpanan limbah radio aktif dapat memakan biaya hingga 3,4 miliar dolar AS.
Di Amerika Serikat, pembangkit listrik tenaga nuklir yang tak beroperasi lagi tetap membayar pajak untuk menanggung tempat penyimpanan limbah radio aktif hingga jangka panjang.
Pembebanan pajak kepada tax payer perlu diperhatikan pemerintah karena aturan itu membutuhkan insentif yang sangat besar untuk pengembangan energi nuklir ke depannya.
"Kami melihat ada beberapa pengaturan dalam RUU EBT sangat loss, misalnya ada jaminan untuk memberikan kemudahan prosedur biaya dan jangka waktu perizinan usaha untuk energi baru, termasuk nuklir masuk di sana," terang Grita.
Dalam pemberitaan sebelumnya, pemerintah menyampaikan bahwa di masa depan energi nuklir berpotensi menggantikan energi berbasis fosil yang saat ini terus dikampanyekan untuk dikurangi pemakaiannya pada pembangkit listrik.
Pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) akan dilakukan setelah tahun 2025.
Peta jalan pembangunan PLTN sudah masuk dalam strategi besar energi nasional. Rencananya, pemerintah akan membangun pembangkit energi nuklir dalam skala kecil, mulai dari 100 megawatt hingga 200 megawatt.
Di antara semua pulau di Indonesia, Kalimantan merupakan pulau yang paling cocok untuk dibangun pembangkit energi nuklir, karena tidak memiliki garis patahan langsung dan tidak ada gunung berapi aktif.
Hal tersebut membuat Kalimantan memiliki risiko gempa bumi dan tsunami paling kecil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Baca juga: Akademisi: Penerimaan PLTN di Kalbar tinggi namun butuh pemahaman
Baca juga: Dirjen Minerba: Nuklir menjadi opsi energi potensial bagi Indonesia
Baca juga: Teknologi keselamatan nuklir makin canggih sejak kecelakaan Chernobyl
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021