Rumah A Sun (45), petani lidah buaya di Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, tampak kusam karena tidak dicat.
Tidak ada yang berubah pada perayaan Imlek 2562 pada rumah sederhana seorang petani itu. Hanya hiasan dua lampion yang digantung di sisi kanan dan kiri pintu depan rumah berukuran 4x10 meter berdinding papan tersebut.
"Kami tetap merayakan Imlek, meskipun dengan serba keterbatasan dan hanya mampu menghiasi rumah dengan dua lampion. Untuk mengecat dinding rumah agar tampak indah dan bersih kami tidak punya uang," kata ayah dua anak tersebut.
Menurut A Sun, meskipun dengan kesederhanaan dan keterbatasan yang dimiliki, tetapi makna perayaan Imlek sebagai ajang mempererat silaturahim dalam keluarganya cukup kental.
"Meskipun kami merayakan Imlek dengan kesederhanaan, tetapi kami menyambutnya dengan "Chun Ciek" atau kegembiraan dan kebahagian sebagai ungkapan menyambut Perayaan Tahun Baru Imlek 2562," ujarnya.
A Sun dan keluarga pada malam tahun Baru Imlek tetap melaksanakan tradisi makan besar, yaitu makan berkumpul satu keluarga besar, mulai dari anak, menantu, dan cucu dengan menu utama daging ayam dan babi yang dimasak dengan arak, serta daging ayam dan babi dimasak kuah merah.
"Setelah makan besar baru melakukan sembahyang di kelenteng untuk memohon doa agar dimurahkan rezeki di tahun mendatang," katanya.
Menurut A Sun, meskipun masih hidup susah, dirinya juga tetap menyiapkan angpau (amplop merah) yang berisi uang untuk diberikan kepada anak-anaknya dan sanak-keluarga yang bertamu ke rumahnya, yang dianggap sebagai bekal rejeki memasuki tahun baru Imlek.
"Meskipun isi angpau itu tidak besar, yang penting maknanya," kata A Sun.
A Sun adalah salah satu warga Tionghoa yang memutuskan menggantungkan hidupnya pada bertani lidah buaya di Kelurahan Siantan Hulu. Dia tidak punya modal untuk membuka usaha dagang seperti umumnya warga Tionghoa lainnya.
"Ketika berusia diatas 20 tahun, saya memutuskan mengikuti jejak kakek dan ayah saya yang selalu setia menjadi petani sayur-sayuran dan pepaya untuk mencukupi kebutuhan hidup," katanya.
Penderitaan A Sun tidak hanya di situ, karena penghasilannya dari bertani lidah buaya dan pepaya pas-pasan. Kala itu, dia terpaksa menunda rencana pernikahannya dengan pujaan hatinya karena tidak memiliki biaya untuk pernikahan.
"Saya baru menikah ketika berumur 38 tahun, sehingga setelah berumur 45 tahun anak saya tertua baru berusia tujuh tahun dan mulai tahun depan mengeyam pendidikan di SD," katanya.
Kini di usia senjanya, A Sun hanya menggantungkan hidup keluarganya dari hasil panen lidah buaya dan pepaya, yang harganya cenderung anjlok karena permainan agen pengumpul dan akibat cuaca ekstrim.
Asun memiliki sebidang tanah berukuran 50 x 50 meter, yang dibaginya dua. Sebelah kiri ditanaminya lidah buaya dan sebelah kanan jalan ditanaminya pepaya serta tanaman sela, yakni kunyit untuk menambah penghasilan.
Berbeda dengan dengan A Sun, Alex (54) salah seorang warga Tionghoa Jalan 28 Oktober Pontianak Utara, mulai pagi tampak sibuk melakukan aktivitas bersih-bersih rumah menyambut malam Imlek bersama putra dan putrinya. Mulai dari menghias diri, seperti menggunting rambut, membersihkan seluruh badan dengan mandi, merias rumah dengan lampion (lampu) warna merah serta mempercantik rumah dengan cat, beli kursi baru dan lain-lain untuk menyambut tahun baru dan rezeki baru kepercayaan warga Tionghoa pada umumnya.
"Maaf pak, hari ini toko kami tidak buka, karena nanti malam sudah mau Imlek," kata ayah empat anak itu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada Imlek tahun 2010, Acung dan keluarganya akan mengisinya dengan melakukan silaturahmi dengan sanak dan famili yang ada di Kota Pontianak. "Yang muda memberi hormat kepada yang lebih tua," ujar.
Alex juga telah menyiapkan angpau untuk diberikan kepada anak-anaknya, sanak-keluarga dan tamu yang berkunjung dengan tujuan bisa menjadi bekal rejeki memasuki tahun baru Imlek.
Silaturahim
Sementara itu, Ketua II Yayasan Bhakti Suci mengatakan, pada intinya perayaan Imlek atau dimulainya tahun baru bagi masyarakat Tionghoa adalah untuk memperkuat hubungan silaturahim baik antara keluarga maupun dengan masyarakat sekitar.
Seminggu menjelang Imlek umumnya warga Tionghoa yang merayakan mulai membersihkan rumah dan membeli kursi atau meja baru untuk menerima tamu yang akan datang bersilaturahim.
Sementara sebagian lagi ada yang memasang hiasan-hiasan tahun baru yang terbuat dari guntingan kertas merah.
"Bentuknya beragam, ada replika nenas merah, lampu hias maupun tempelan kata-kata harapan dalam huruf kanji yang berisi tentang kebahagiaan, kekayaan, panjang umur, serta kemakmuran," ujar Simon.
Rangkaian Imlek, menurut dia, sebagian keluarga juga masih melakukan tradisi sembahyang terhadap leluhur dengan meletakkan bermacam-macam buah di depan altar dengan hio atau dupa yang menyala. Kemudian di malam Imlek akan diadakan acara makan besar atau makan bersama yang dihadiri semua anggota keluarga.
Ia menyebutkan, di hari pertama Imlek seluruh anggota keluarga akan bangun pagi-pagi, yang muda memberi hormat dan menyalami orang tua dan sanak keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut. Biasanya dimulai dari anak-anak berlutut memohon ampunan dan doa dari orang tua.
"Kemudian saudara yang lebih muda pada yang tua dan selanjutnya istri dengan suami. Nah, yang lebih tua biasanya memberikan angpau, yaitu amplop merah berisi uang yang jumlahnya sesuai kemampuan yang memberi," kata salah satu Ketua YBS Pontianak itu.
Sejarah Imlek
Penulis Buku Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat Lie Sau Fat alias XF Asali mengatakan, masyarakat Tiongkok setiap pergantian tahun penanggalan Imlek selalu merayakan festival musim semi atau Chun Ciek.
Selama musim dingin masyarakat Tiongkok zaman dahulu mengisi waktu dengan berkumpul di rumah sambil menghangatkan diri di dekat tungku perapian.
Pergantian dari musim dingin ke musim semi, diyakini memberikan harapan baru bagi para petani, sehingga masyarakat Tiongkok menyambutnya dengan perayaan.
Kala itulah mereka menghiasi rumah dengan pernak-pernik warna merah, membunyikan mercon atau petasan, yang menurut tradisi agar terhindar dari malapetaka.
Tradisi itu pulalah yang kini diwariskan oleh A Sun, dan warga etnis Tionghoa lainnya di Pontianak, dengan segala kesederhanannya. (A057/KWR/K004)
Oleh Oleh Andilala
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011