Hujan meteor Arid dapat disaksikan sejak senja bahari atau 20 menit setelah terbenam matahari dari arah selatan-barat daya hingga barat daya selama 3,5 jam hingga pukul 21.30 waktu setempat.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti di Pusat Riset Sains Antariksa Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang mengatakan hujan meteor terbungsu bernama Arid akan terlihat dari Bumi pada pekan kedua Oktober 2021, yang mana belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
"Hujan meteor umumnya memang terjadi setiap tahun ketika debu komet maupun asteroid berpotongan dengan orbit bumi mengelilingi matahari. Untuk kasus hujan meteor terbungsu ini, justru debu komet 15P/Finlay, sebagai objek induk (parent body) hujan meteor tersebut, tidak pernah berpotongan dengan orbit bumi," katanya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
"Hal ini dikarenakan ukuran debu komet yang kecil, ditambah pula dengan angin surya dari Matahari yang dapat mengubah posisi debu komet menjadi bergeser dari posisi semula,” tambahnya.
Ia menjelaskan hujan meteor Arid dapat disaksikan sejak senja bahari atau 20 menit setelah terbenam matahari dari arah selatan-barat daya hingga barat daya selama 3,5 jam hingga pukul 21.30 waktu setempat.
Sedangkan yang berada di belahan utara tetap berkesempatan menyaksikan hujan meteor tersebut, meskipun lokasi pengamatan terbaik hujan meteor itu berada di belahan selatan bumi.
Hujan meteor tersebut mulai menyembur sejak sepekan silam dan saat itu para astronom memprediksi puncak aktivitasnya akan terjadi beberapa hari ke depan.
Hujan meteor itu terlihat redup melalui instrumen radar bagi beberapa wilayah paling selatan di belahan selatan bumi yang masih bisa dihuni manusia seperti Argentina, Chile dan Selandia Baru.
Ia mengatakan awalnya hujan meteor tersebut dinamai "Finlay-id" berdasarkan nama objek induknya. Penamaan tersebut tentu mengingatkan dengan hujan meteor Draconid yang semula dinamai Giancobinid, sesuai nama penemunya.
Konfirmasi pengamatan terbaru menunjukkan hujan meteor tersebut muncul dari konstelasi Ara, konstelasi di langit selatan yang terletak di antara konstelasi Centaurus, si manusia kuda dan Lupus, si serigala. Konstelasi tersebut dinamakan Ara yang dalam bahasa Latin berarti altar atau pedupaan dikarenakan figur bintang yang menyerupai altar.
Oleh karenanya, hujan meteor itu dinamakan Arid, sesuai lokasi kemunculan hujan meteor tersebut. Nama itu sudah ditambahkan ke dalam Daftar Kerja Hujan Meteor IAU (Uni Astronomi Internasional) berdasarkan laporan pengamatan tertanggal 1 Oktober 2021 oleh Biro Pusat untuk Telegram Astronomi di Universitas Harvard, AS.
Hujan meteor Arid mula-mula terdeteksi melalui kamera pemantau meteor CAMS (Camera for Allsky Meteor Surveillance) di Selandia Baru berturut-turut pada 28 dan 29 September 2021. Radar meteor SAAMERS-OS (Southern Argetina Agile Meteor Radar Orbital System) di Pulau Tanah Api (Tierra del Fuego), Argentina Selatan mendeteksi hujan meteor itu setidaknya selama tiga jam pada 29 September.
Jauh sebelumnya, pada 1995, debu komet 15P/Finlay pertama kali menyembur selama perihelion 1995. Semburan kedua terjadi pada 2008 dan menyusul enam tahun setelahnya pada 2014 menyembur untuk ketiga kalinya. Puncak hujan meteor Arid diprediksi pada 7 Oktober 2021 pukul 10.55 WIB/11.55 WITA/12.55 WIT berdasarkan tiga pengamatan semburan debu komet sebelumnya.
Ia mengatakan meskipun ukuran inti komet 15P/Finlay sebesar 1,8 kilometer, namun debu komet itu hanya berukuran seperti butiran pasir, sehingga hujan meteor tersebut bergerak cukup lambat di kelajuan 38.880 km/jam dibandingkan dengan hujan meteor Draconid yang kelajuannya 72.000 km/jam, sehingga cukup sulit diamati.
Walaupun lambat, tidak tertutup kemungkinan data pengamatan hujan meteor itu dapat terkumpul dengan cukup dari berbagai belahan bumi, demikian Andi Pangerang.
Baca juga: LAPAN: Cahaya hijau dekat Merapi kemungkinan terkait hujan meteor
Baca juga: Ayo saksikan hujan meteor dini hari di seluruh Indonesia
Baca juga: Lapan: Puncak hujan meteor teramati lewat tengah malam sampai subuh
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021