Pangkalpinang (ANTARA News) - Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB) Prof Dr Bustami Rahman, mengemukakan, renumerasi lebih cocok diberikan kepada kalangan antikorupsi sebagai insentif atau penghargaan atas kinerja yang baik dan bersih.
"Renumerasi lebih cocok diberikan kepada kalangan antikorupsi sebagai insentif atau penghargaan atas karakter yang baik dan bersih dalam bekerja, bukan kepada departemen tertentu atau kalangan PNS," katanya di Pangkalpinang, Rabu.
Namun demikian, kata dia, tidak mudah dalam menentukan kalangan yang antikorupsi sehingga dia perpendapat, di setiap lembaga pemerintahan diperlukan lembaga independen yang beranggotakan orang yang benar-benar bersih untuk mentukan dan menilai siapa saja yang berkarakter antikorupsi sehingga pantas diberi renumerasi.
Rektor UBB mengemukakan hal itu terkait adanya anggapan sebagian kalangan bahwa renumerasi merupakan bagian dari cara pemerintah untuk menekan angka kasus korupsi pada beberapa lembaga pemerintah di Indonesia. Namun menurut dia renumerasi tidak ada korelasinya dengan penurunan kasus korupsi karena korupsi terkait dengan karakter dan mental seseorang.
"Perbuatan korupsi terkait dengan sikap dan mental seseorang. Kalau mental sudah korupsi, berapa pun insentif dan gaji yang diberikan tetap saja melakukan praktek korupsi, maka saya menilai renumerasi lebih cocok diberikan kepada kalangan yang benar-benar berkarakter antikorupsi," ujarnya.
Menurut dia, jika seseorang sudah berkarakter dan bermental antikorupsi maka tidak bisa terkontaminasi oleh keadaan, sehingga tindakan merugikan keuangan negara itu tidak akan dilakukan kendati memiliki kesempatan.
"Korupsi terkait dengan karakter dan mentalitas, ini yang harus diubah sehingga tidak ada lagi istilah "jabatan basah" yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan korupsi.Adanya oknum melakukan perbuatan korupsi di lembaga agama, pendidikan dan perpajakan,akibat mental dan karakter yang bukan antikorupsi," ujarnya.
Ia juga mengatakan, korupsi sudah membudaya di masyarakat karena berlangsung cukup lama, mengakar hingga ke semua tingkat dan para pelakunya tidak merasa malu ketika terjerat kasus korupsi sehingga dianggap biasa.
"Pelaku korupsi tidak malu melakukan korupsi, dianggap biasa atau mereka berpikir sedang bernasib sial sehingga tidak takut, bahkan tersenyum ketika diproses secara hukum. Ini menunjukkan korupsi sudah membudaya karena dianggap biasa," ujarnya. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011