Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menyebutkan perempuan merupakan kelompok yang rentan terjerat pinjaman daring atau online (pinjol) ilegal di masa pandemi COVID-19.
"Kenapa perempuan? Karena di masa normal saja perempuan sudah rentan dan pandemi semakin menambah beban perempuan," kata Wahyu melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis.
Wahyu menuturkan saat pandemi tidak sedikit perempuan, terutama ibu rumah tangga yang harus menerima kenyataan suaminya yang bekerja di sektor informal menurun pendapatannya, sementara itu kebutuhan hidup terus meningkat.
"Selain mengurus domestik perempuan juga mendamping anak sekolah dari rumah dan belum lagi kalau yang juga bekerja. Di sisi lain suami pendapatannya menurun akibat pandemi dan ada yang kena PHK, sementara kebutuhan tidak menurun tetapi terus naik," kata dia.
Baca juga: OJK peringatkan warga Sulteng waspadai modus penipuan pinjol ilegal
Kondisi tersebut, menurut dia, menjawab mengapa mayoritas perempuan, terutama di perdesaan menjadi korban pinjol ilegal.
Para perempuan mau tidak mau mengambil jalan pintas melalui pinjol yang memberikan pinjaman dengan persyaratan dan ketentuan yang mudah dan cepat proses pencairan dananya. Berbeda dengan mengambil pinjaman di bank dengan persyaratan dan proses pengajuan yang tergolong rumit dan memakan waktu panjang.
"Dalam kondisi keterdesakan ekonomi yang dipilih masyarakat jalan pintas untuk menyambung hidup," kata dia.
Wahyu mengatakan saat sudah terjerat pinjol, biasanya perempuan tidak lepas dari adanya pelabelan atau stigma dari masyarakat.
Beberapa stigma yang kerap muncul, menurut dia, antara lain dianggap tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, dianggap konsumtif, tukang utang dan lainnya. Stigmatisasi yang muncul tersebut menjadikan perempuan korban pinjol tertekan hingga bunuh diri karena tidak kuat menahan malu.
Adanya warga yang terjerat pinjol ini, lanjut Wahyu menunjukkan sistem sosial (supporting system) di masyarakat tidak bekerja. Korban merasa sendiri dan buntu di tengah desakan ekonomi namun masyarakat tidak memberikan dukungan.
Oleh sebab itu, ia menekankan perlunya memperkuat "supporting system" di lingkungan masyarakat. Saat ada salah satu warga yang terjerat pinjol diharapkan tetangga dapat memberikan dukungan atau bantuan dalam mencari solusi.
"Masyarakat bisa menginisasi gerakan bersama menghadapi krisis saat pandemi termasuk persoalan ekonomi seperti pinjol semisal dengan membangun kelompok-kelompok usaha kecil. Kalau ini tidak dilakukan akan banyak yang tertekan sehingga solidaritas sosial penting," kata dia.
Lebih lanjut Wahyu menjelaskan perempuan memang rentan menjadi korban tindak kriminalitas, apalagi di era teknologi saat ini karena hingga saat ini masih ada gap penguasaan teknologi diantara laki-laki dan perempuan.
Seperti diketahui pandemi COVID-19 mengubah seluruh aspek kehidupan dari aktivitas luring menjadi daring. Paparan terhadap pinjol di masyarakat pun menjadi semakin besar. Namun, kondisi ini belum diikuti dengan literasi dan edukasi yang baik bagaimana menggunakan teknologi secara bijak.
Untuk itu, literasi digital penting dilakukan untuk menekan risiko pinjol. Edukasi terkait dampak pinjol perlu diperkuat untuk menekan risiko munculnya korban-korban pinjol lainnya.
"Fenomena ini akan terus terjadi sehingga menjadi PR untuk bisa mendampingi masyarakat," kata dia.
Tak hanya itu, Wahyu mengatakan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pinjol sebab mayoritas pinjol saat ini bersifat ilegal atau tidak terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, penegak hukum diharapkan mampu merespon dengan cepat dan berinisiatif melindungi masyarakat korban jeratan pinjol.
"Masyarakat diharapkan juga bisa melakukan pengawasan, karena kekuatan terbesar di masyarakat melakukan pengawasan untuk melaporkan yang terjadi di lingkungannya," kata dia.
Baca juga: Kiat hindari transaksi pinjaman online ilegal
Baca juga: LBH Jakarta: Perempuan pengguna aplikasi "pinjol" rentan alami KBGS
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021