Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna pada Kamis (7/10) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) untuk disahkan menjadi UU.

UU tersebut juga merupakan revisi dari UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang bertujuan untuk mengawal penguatan reformasi perpajakan yang selama ini sudah digaungkan pemerintah.

Pemerintah yang selalu menegaskan bahwa penerimaan merupakan bagian penting dari APBN juga berupaya untuk membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel dengan adanya regulasi ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan reformasi perpajakan itu penting mengingat pendapatan negara dalam 10 tahun terakhir cenderung turun sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Kondisi ini membuat kapasitas fiskal negara menjadi terbatas untuk pengeluaran belanja negara dan pemerintah harus menambal APBN melalui pembiayaan dari sisi utang.

Tekanan untuk melakukan reformasi perpajakan itu juga makin kencang dan menemukan momentumnya seiring dengan adanya pandemi COVID-19 yang menambah beban APBN.

Oleh karena itu, meski desakan revisi UU KUP ini sudah digaungkan sejak lama, pemerintah bersama DPR baru serius untuk membahas lebih lanjut regulasi ini dengan proses cepat dalam hitungan bulan.

Sejumlah perubahan yang hadir dalam UU baru itu antara lain adanya penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi yang lebih mencerminkan keadilan.

Dalam UU tersebut, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Orang Pribadi lajang tidak mengalami perubahan yaitu tetap Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan.

Namun, Orang Pribadi yang memiliki penghasilan hingga Rp60 juta per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 5 persen, antara Rp60 juta-Rp250 juta terkena tarif 15 persen dan Rp250 juta-Rp500 juta terkena pungutan 25 persen.

Selanjutnya, Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan antara Rp500 juta-Rp5 miliar per tahun terkena tarif 30 persen dan Rp5 miliar ke atas terkena tarif PPh 35 persen.

Dalam regulasi ini, pemerintah juga akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen paling lambat 1 Januari 2025, dari sebelumnya 10 persen.

Namun, masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan dan layanan sosial.

Terkait materi umum, UU baru itu juga akan mengintegrasikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai penyederhanaan sistem administrasi perpajakan dan kepentingan nasional.

Isu penting lainnya yang diakomodasi dalam UU HPP adalah program pengungkapan sukarela yang menjadi kelanjutan dari program pengampunan pajak yang pernah berjalan pada 2015-2016.

Program yang akan berjalan selama enam bulan mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 itu akan memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.

Selain itu, regulasi ini nantinya juga mengatur pengenaan pajak karbon untuk menurunkan risiko perubahan iklim mulai 1 April 2022 pada PLTU sektor batu bara dengan tarif lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon minimal Rp30 per kilogram CO2e.

Terakhir, regulasi juga mengatur materi mengenai kemungkinan adanya pengenaan tambahan barang kena cukai dengan mempertimbangkan kondisi pandemi, pemulihan ekonomi serta kebijakan bidang kesehatan, lingkungan dan kebijakan lain secara berkelanjutan.

Secara keseluruhan, pemerintah mengharapkan reformasi dari implementasi UU HPP itu akan membuat rasio perpajakan mencapai kisaran 9,22 persen PDB pada 2022 dan 10,12 persen PDB pada 2025.

Tambah penerimaan

Dalam Rapat Paripurna DPR itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi struktural di bidang perpajakan dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Maju.

Menurut dia, pandemi COVID-19 justru memberikan momentum dan sudut pandang baru dalam menata ulang serta membangun fondasi baru perekonomian termasuk menata ulang sistem perpajakan agar lebih kuat.

Untuk itu, reformasi perpajakan diselaraskan dengan langkah pemerintah dalam mempercepat proses pemulihan ekonomi dan meningkatkan kualitas kebijakan fiskal sebagai instrumen kebijakan mendukung pembangunan nasional.

Ekonom Senior Center Of Reform on Economisc (CORE) Yusuf Rendy Manilet juga berpendapat bahwa berbagai reformasi dalam UU HPP akan mendorong konsolidasi fiskal di 2022 dan 2023.

Beberapa pasal yang mendukung adanya konsolidasi fiskal tersebut adalah adanya peningkatan tarif PPN dan tambahan lapisan dalam pengenaan tarif PPh.

Menurut dia, kenaikan tarif PPN sejalan dengan beberapa negara yang memang mulai meningkatkan tarif PPN sebesar satu persen sampai 1,1 persen, begitu pula dengan PPN global yang juga menunjukkan peningkatan.

Kemudian, penambahan lapisan tarif PPh 21 menjadi pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun sejalan dengan reformasi dalam konsolidasi fiskal.

Dengan demikian, ia menilai reformasi perpajakan melalui RUU HPP sangat diperlukan untuk mendorong agar penerimaan pajak bisa mengalami peningkatan, sehingga konsolidasi fiskal bisa terjadi dan menyehatkan APBN.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky berpendapat pengenaan tarif PPh sebesar 35 persen kepada masyarakat berpendapatan di atas Rp5 miliar per tahun berpotensi mendongkrak penerimaan negara secara signifikan.

Potensi penerimaan itu masuk akal mengingat kelompok masyarakat kaya cenderung menempatkan uangnya di luar negeri dan konsumsinya lebih sedikit dari pendapatan sehingga harus dikejar untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Untuk itu, ia berharap adanya optimalisasi rencana tarif PPh kepada kelompok orang kaya tersebut, agar tidak berpotensi menurunkan kepercayaan dari seluruh lapisan masyarakat.

Terkait pengenaan tarif PPh sebesar 35 persen tersebut, regulasi itu juga menjadikan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Orang pribadi bertambah menjadi lima.

Riefky mengapresiasi langkah pemerintah yang berani menambah lapisan PKP mengingat selama ini masyarakat yang memiliki pendapatan Rp500 juta per tahun dengan Rp20 miliar per tahun dikenakan tarif pajak yang sama, yakni 30 persen.

Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai kebijakan tax amnesty atau program pengampunan pajak jilid II dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk menambah basis Wajib Pajak (WP).

Menurut dia, program pengampunan lanjutan ini juga dapat membawa kembali dana yang dibawa ke luar negeri secara tidak terdeteksi untuk menghindari pungutan pajak.

Selain itu, kebijakan ini ke depannya juga dapat meningkatkan investasi pada Surat Berharga Negara (SBN) mengingat Wajib Pajak yang berpartisipasi wajib melakukan repatriasi aset ke SBN, industri hilirisasi atau energi terbarukan.

Melalui pembaruan regulasi tersebut, terdapat harapan bahwa reformasi perpajakan yang selama ini belum optimal untuk mendukung penerimaan bisa menjadi lebih baik ke depannya.

Meski demikian, patut ditunggu hasil dari pelaksanaan UU HPP mengingat selama ini pendapatan pajak tidak pernah memenuhi target dan pemerintah harus menambal defisit APBN melalui pembiayaan utang.

Baca juga: Pemerintah naikkan tarif PPN jadi 11 persen mulai April 2022

Baca juga: Pemerintah resmi naikkan batas penghasilan kena pajak jadi Rp60 juta

Baca juga: Menkumham: Reformasi perpajakan RI perhatikan dinamika global

Copyright © ANTARA 2021