...kami tak mengharapkan bantuan apapun dari Amerika. Jangan ganggu kami!
Jakarta (ANTARA News) - Gelombang protes di Mesir bakal menjadi revolusi rakyat terbesar di Timur Tengah dan revolusi pertama di abad ini yang mungkin mengubah lanskap geopolitik Timur Tengah, bahkan dunia.
Sementara Barat dan Israel cemas mengikuti perkembangan di Mesir yang adalah kunci stabilitas Timur Tengah, sekaligus sekutunya dalam melawan apa yang mereka sebut kaum Islamis.
Seperti angin Tunisia ke Mesir, badai politik Mesir juga akan menyebar ke seantero Timur Tengah, termasuk kawasan Teluk yang kaya minyak di mana kepentingan-kepentingan strategis Barat berada.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Barat tak menginginkan rezim antiBarat di Mesir. Mereka hati-hati menanggapi gejolak di Tunisia dan Mesir. Akan lain ceritanya jika revolusi itu terjadi di Suriah dan Libya.
Barat diam-diam tak ingin Tunisia jatuh ke tangan kelompok islamis seperti di Iran atau yang nyaris pernah berlaku di Aljazair saat Front Pembebasan Islam memenangkan pemilu 1991.
Namun begitu Ben Ali terjengkang, Barat segera menyatakan mendukung rakyat Tunisia. Robin Yassin-Kassab, pengarang novel "The Road to Damascus", menyebut perubahan sikap Barat ini sebagai hipokrit.
Skenario sama tampaknya akan menimpa Hosni Mubarak di Mesir.
Mubarak sendiri berusaha untuk setidaknya tak jatuh memalukan seperti Ben Ali atau diktatur-diktatur Timur Tengah lainnya sebelum dia, termasuk Shah Iran pada 1979.
Mengutip STRATFOR, Mubarak tengah menyiapkan jalan keluar elegan dengan menunjuk mantan Kasau Ahmed Shafiq sebagai Perdana Menteri dan kepala badan intelijen Omar Suleiman sebagai wakil presiden yang lowong sejak 30 tahun lalu.
Mubarak juga mengangkat Menteri Pertahanan Field Marshal Mohammed Hussein Tantawi dan Kasad Letjen Sami Annan yang kembali ke Kairo pada 29 Januari sehabis menemui para pejabat AS, sebagai arsitek-arsitek proses politik di belakang layar.
Fakta bahwa Sami Annan berbicara dulu dengan Washington menunjukkan bahwa AS tak bisa menyembunyikan dirinya untuk tak berskenario di Mesir, khususnya untuk menghindarkan Mesir berubah dari sekutu menjadi musuh.
Mereka berusaha memfabrikasi sosok Muhammad Al Baradei yang populer di Barat namun tak lebih berpengaruh dari Ikhawanul Muslimin.
Masalahnya, menciptakan orde baru tidak semudah di zaman lalu, karena Arab mepunyai Aljazeera dan media sosial yang membuat mereka selalu bisa melihat dunia.
Israel Cemas
Bagaimana dengan Israel? Negara ini jelas sangat cemas. "Tanpa Mubarak, Israel akan nyaris tanpa kawan di Timur Tengah. Tahun lalu Israel kehilangan Turki," kata kolumnis Aluf Benn dari koran terkemuka Israel Haaretz.
Israel terus mengikuti perkembangan dari detik ke detik di Mesir, sementara PM Benjamin Netanyahu melarang para pejabat mengomentari Mesir karena bisa ditafsirkan mencampuri urusan internal Mesir dan itu kontraproduktif terhadap posisi Israel.
"Sebaiknya Israel memang tetap diam, namun tak diragukan lagi apa yang terjadi di Mesir tak menguntungkan Israel," kata Eli Shaked, mantan Duta Besar Israel di Mesir.
Dia berspekulasi, jika Mubarak jatuh, maka Ikhwanul Muslimin akan naik berkusa. Seketika itu juga keseimbangan kekuatan di Palestina berubah.
Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas dukungan Barat, Isrel dan rezim-rezim Arab pro Barat termasuk Mubarak, bakal menghadapi Hamas yang lebih kuat karena tak hanya didukung Iran, Suriah dan Hizbullah, namun juga oleh sebuah Mesir yang dipimpin Ikhwanul. Israel pun ikut terancam.
Sejak 1950an, Israel menggantungkan diri pada aliensi-aliansi regional, termasuk aliansi dengan Shah Iran sebelum akhirnya ditumbangkan Revolusi Islam pada 1979.
Namun aliansi dengan Mesir-lah yang paling penting bagi Israel, terutama di era Mubarak. Kendati begitu, Mubarak tak mau terang-terangan menunjukkan bersahabat dengan Israel.
Haaretz bahkan menyebut hubungan mesra dengan Mubarak ini telah membuat Israel untuk pertama kalinya bisa memangkas anggaran pertahanannya.
Mubarak telah menjadi mitra untuk delapan PM Israel, termasuk Benjamin Netanyahu. Dan persahabatan dengan Netanyahu ini didasarkan pada kekhawatiran menguatnya pengaruh Iran dan kelompok islamis di Timur Tengah, selain oleh menjauhnya AS di bawah Barack Obama dari Timur Tengah.
Kini, Mubarak mendekati tumbang. Pilihan Israel tinggal Raja Abdullah di Yordania dan pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Tapi, kedua orang ini tak bisa berperan sepenting Mubarak.
"Dalam situasi seperti ini, Israel akan terpaksa mencapai aliansi baru," sebut Jerusalem Post.
Koran ini mendesak Israel untuk memberi konsesi besar kepada Palestina untuk mencegah merembetnya revolusi ke Gaza dan Tepi Barat, lalu membahayakan posisi Abbas.
Jangan ganggu
Para pemuda Mesir sendiri melihat gerakan mereka tak seideologis klaim Barat. "Revolusi ini adalah gerakan massa akar rumput yang digerakkan oleh kemelaratan, upah rendah, dan pengangguran," kata Firas Al-Atraqchi, profesor jurnalisme pada Universitas Amerika di Kairo seperti dikutip Al-Jazeera.
Tak heran, gerakan ini diikuti oleh hampir semua kalangan yang bahkan tak mengenal demonstrasi sebelumnya. Mereka ini menemukan cara untuk bersuara guna menunjukkan kemarahan mereka.
Sejumlah pihak di Israel sepakat bahwa alasan domestiklah yang membuat Tunisia dan Mesir bergolak, bukan sentimen antiIsrael seperti sebelum ini menggerakkan demonstrasi Arab.
Seakan ingin menghibur, kolumnis Jerusalem Post Herb Keinon mengatakan rakyat Mesir hanya memprotes penguasanya. Namun, kaum muda Mesir tak mengesampingkan faktor Israel karena mereka tahu Mubarak adalah sekutu dekat Israel dan AS.
"Dia itu alat politik luar negeri Amerika dan mengimplementasikan agenda keamanan untuk Israel," kata jurnalis dan bloger Mesir, Hossam el-Hamalawy dalam wawancara dengan Profesor Mark LeVine, seperti dikutip Aljazeera.
Sebaliknya, rakyat Mesir juga tak menganggap penting oposisi seperti Al-Baradei dan Ikhawanul Muslimin. "Rakyat telah lama dibesarkan oleh politik praktis pemerintah dan retorika kosong dari oposisi," kata Al-Fitraqchi.
Ikhwanul Muslimin sudah tercerai berai pasca intifada Alaqsa. Lain dari itu, berbalik kooperatifnya mereka kepada Mubarak telah memudarkan popularitas Ikhwanul.
Tapi dengan fakta seperti itu pun, Barat dan Israel tetap melihat Ikhwanul sebagai ancaman utama. Saat bersamaan, mereka mengusung El-Baradei yang bukan tokoh oposisi populer di dalam negeri.
Tampaknya, Ikhwanul, Al-Baradei dan Letjen Sami Annan adalah bagian dari upaya melihat Mesir dari perspektif lain yang berbeda dari realitas, sehingga dunia mengakui keperluan Barat akan hadirnya rezim baru di Kairo yang kooperatif dengan Israel, Barat, sekaligus tak membuat gerah negara-negara Arab "moderat" sekutu Barat.
"Setiap pemerintahan yang benar-benar bersih yang akan berkuasa di kawasan ini pasti akan bertentangan secara terbuka dengan AS karena mereka akan menyerukan redistribusi kesejahteraan secara radikal dan mengakhiri dukungan kepada Israel," kata El-Hamalawy.
AS, Israel, Barat dan negara-negara Arab sekutu Barat boleh beralasan ingin menghindarkan neraka konflik di Timur Tengah, namun rakyat Arab telah lama merasakan dukungan Barat kepada penguasa mereka sering mencipta pemimpin zalim nan korup.
"Oleh karena itu, kami tak mengharapkan bantuan apapun dari Amerika. Jangan ganggu kami!" kata El-Hamalawy. (*)
Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011