London (ANTARA News/AFP) - Rached Ghannouchi, pemimpin gerakan Islam, Ennahda,Ahad naik pesawat untuk pulang ke Tunisia dari London setelah 22 tahun tinggal di pengasingan, kata anak perempuannya kepada AFP.
"Ia telah naik pesawat sekarang," kata Soumaya Ghanaouchi kepada AFP melalui telepon dari pintu keberangkatan di Bandara Gatwick London.
Penerbangan pesawat maskapai penerbangan British Airways yang berangkat pukul 0830 GMT (15:30 WIB) dan tiba di Tunis 1125 GMT (pukul 18:25WIB).
Setelah tersingkirnya penguasa yang otoriter Zine El Abidine Ben Ali, Rached melapor pada bagian keberangkatan Bandara Gatwick untuk pulang ke Tunisa setelah 22 tahun dipengasingan, disertai dengan 30 pendukung dan waratwan.
Dengan memakai kemeja yang terbuka dilehernya dan mantel, Rached yang tersenyum berfoto dengan bendera Tunisia dan merangkul keluarganya.
"Saya merasa sangat bahagia hari ini," kata pemimpin yang berusia 69 tahun itu.
"Apabila saya pulang hari ini saya akan kembali ke dunia Arab seutuhnya.
"Saya masih pemimpin partai saya. Saya akan menyelenggarakan satu konferensi.
"Jika diselenggarakan pemilu yang bebas dan jujur Ennahda akan ikut serta--dalam pemilihan legislatif, bukan pemilihan presiden."
Ia menambahkan: Masih ada kebingunan menyangkut situasi politik.
"Pemerintah sementara mengganti menteri-menterinya setiap hari, belum ada kestabilan dan kekuasaannya belum jelas.
"Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab karena parlemen sekarangn masih parlmen satu partai."
Pulangnya Rached terjadi saat pemerintah baru yang dilantik setelah Ben Ali digulingkan mengutarakan kebebasan demokratis termasuk pencabutan pengendalian terhadap media, pembebasan para tahanan politik dan pendaftaran kembali partai-partai yang dilarang.
Pemimpin organisasi Islam itu masih secara resmi dijatuhi hukuman seumur hdup oleh rezim lama karena bersekongol melawan pemerintah tetapi pada prakteknya para terhukum lainnya yang tinggal di pengasingan dapat pulang tanpa hambatan dalam beberapa hari belakangan ni.
Pemerintah telah menyusun satu amnesti, yang harus diajukan kepada parlemen.
Menjawab pertanyaan apakah ia mendukug hukum Islam, Rached mengatakan kepada wartawa: "Semua ini tidak punya tempat di Tunisia Selama bertahun-tahun kami bersama dengan partai-partai oposisi sependapat mengenai landasan bersama, termasuk menyetujui kebebasan hati nurani, pluralisme politik...dan kami telah sepakat mengenai satu sikap tentang persamaan hak antara wanita dan pria."
Para anggota gerakan Ennahda (Kebangkitan) pimpinan Rached, yang dilarang semasa pemerintah Ben Ali, diperkirakan datang ke bandara Tunis untuk menyambut dia.
Ia ingin mengubah gerakannya--yang secara resmi masih dilarang-- menjadi satu partai politik yang akan ikut dalam pemilu demokratis pertama negara itu.
Undang-Undang Tunisia melarang partai-partai politik yang berdasarkan agama.
Rached mendirikan Ennahda tahun 1981 diilhami oleh Ichwanul Muslimin Mesir tetapi mengatakan ia lebih ingin seperti Partai Keeadilan dan Pembangunan yang merintah Turki sekarang.
Akan tetapi beberapa kelompok wanita khawatir kembaliya Rached menandakan kembangkitan Islam politik yang dapat membahayakan hak-hak mereka yang telah diperjuang dengan keras.
Rached meninggalkan Tunisia segera setelah Ben Ali berkuasa dalam satu kudeta tidak berdarah tahun 1987. Dalam pemilu tahun 1989, yang penuh kecurangan, satu koalisi yang didukung Islam masih berhasil meraih 17 persen suara.
Segera setelah itu,penyiksaan terhadap para tokoh Islam dimulai dan Rached melarikan diri pertama ke Aljazair dan kemudian ke Inggris. Ratusan aktivis Islam yang bertahan dipenjarakan , sering dengan tuduhan-tuduhan yang lemah.(*)
(UU.H-RN/H-AK)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011