Pemerintah sangat butuh penerimaan pajak yang tinggi untuk menuju target defisit APBN tidak sampai menyentuh tiga persen PDB pada 2023.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan pemerintah membutuhkan konsolidasi fiskal untuk mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ke bawah tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).
Konsolidasi fiskal tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan pajak agar defisit mengecil hingga kembali ke bawah tiga persen dari PDB.
“Pemerintah sangat butuh penerimaan pajak yang tinggi untuk menuju target defisit APBN tidak sampai menyentuh tiga persen PDB pada 2023,” ucap Heri dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Indef: Butuh Rp700 triliun agar defisit APBN di bawah 3 persen
Untuk mencapai peningkatan penerimaan perpajakan, menurut Heri, pemerintah pun membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Kami sepakat penerimaan tax ratio harus ditingkatkan sehingga memang penerimaan pajak yang tinggi jadi suatu keniscayaan,” tutur Heri.
Sementara itu, Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Rusli Abdullah menambahkan bahwa pada tahun 2023 dan 2024, pemerintah memerlukan fleksibilitas agar pengelolaan fiskal lebih kuat dan sentralistik.
Karena itu, selain segera menetapkan RUU HPP, pemerintah juga membuat RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Dalam RUU HKPD, pemerintah pusat tak lagi mematok Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah sebesar 26 persen dari pendapatan dua tahun sebelum APBD tahun berjalan.
“Pada saat yang bersamaan, dua sampai tiga minggu kemarin pemerintah membahas dua RUU, yakni RUU HKPD dan RUU HPP. RUU HKPD merupakan revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang berlaku yakni UU Nomor 33 Tahun 2004,” katanya.
Baca juga: Kemenkeu perkirakan defisit APBN 2021 di bawah target 5,7 persen
Menurutnya, pemerintah daerah akan kesulitan menolak RUU HKPD saat ditetapkan. Pasalnya banyak jabatan kepala daerah akan diemban oleh pelaksana tugas sebagaimana ketentuan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2024 yang berdasarkan pada UU Nomor 10 Tahun 2016.
Pelaksana tugas kepala daerah yang menolak ketentuan pemerintah pusat pun berpotensi digantikan oleh pelaksana yang lain apabila menolak RUU HKPD ini.
"Saya melihat secara ekonomi dan politik, ini jalan pemerintah, salah satu usaha pemerintah untuk menopang beban fiskal di tahun 2023, tahun 2024, dan seterusnya," ucapnya.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021