Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menceritakan pengalaman anehnya terkait pemilihan pemenang lelang tender infrastruktur di daerah yang kalah meski menawar dengan harga terendah.
"Saya dapat pesan 'whatsapp' dari salah satu peserta lelang di daerah, dia mengaku menawar harga paling rendah tapi tidak menang lelang," kata Alexander di Jakarta, Rabu.
Marwata mengungkapkan alasan dari penilaian panitia pengadaan adalah harga penawaran dianggap tidak wajar karena dia menawar 80 persen di bawah HPS (Harga Perhitungan Sendiri) dan ada 4 perusahaan penawar dengan harga penawaran di bawah 80 persen HPS tapi yang menang di urutan ke-5 yang harganya Rp1,5 miliar lebih mahal dibanding harga terendah.
Hal tersebut disampaikan wakil ketua KPK ini dalam diskusi virtual Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) berjudul "Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi".
"Nilai Rp1,5 miliar tersebut adalah sekitar 15 persen dari HPS atau senilai Rp9 miliar. Padahal berdasarkan pengalaman KPK, proses pengadaan barang dan jasa kerap ada permintaan 'fee' 5-15 persen. Saya tidak tahu apakah selisih Rp1,5 miliar itu untuk menanggulangi 'fee' 15 persen," tambah Marwata.
Ia mengaku sudah minta koordinator wilayah (korwil) KPK untuk mendalami kenapa 4 penawaran terendah dianggap tidak wajar oleh panitia.
"Saya sudah tanya kepada penawar ini apakah dengan harga terendah itu sudah untung? Dia jawab 'Sudah Pak, sudah memperhitungkan keuntungan 15 persen tapi memang tidak menghitung pemberian 'fee' ke pejabat, jadi murni keuntungan 15 persen perusahaan sehingga bisa menawar di 80 persen di bawah HPS'," ungkap Marwata.
Dalam kondisi tersebut, Marwata menilai tidak tertutup kemungkinan ada banyak perusahaan rekanan konstruksi yang menambahkan biaya "fee" 5-15 persen di luar keuntungan yang diperoleh sebagai penawaran lelang.
Baca juga: Pimpinan KPK ungkap pernah dapat WhatsApp dari peserta lelang proyek
"Ini fakta-fakta yang sering diungkap KPK saat melakukan penindakan perkara suap di bidang konstruksi," tambah Marwata.
Menurut dia, kejadian itu mengkhawatirkan karena anggaran pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan infrastruktur berjumlah besar, khususnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yaitu Rp119 triliun (2019), Rp120 triliun (2020) dan Rp150 (2021) dengan realisasi anggaran rata-rata Rp87 triliun.
"Ada anggaran yang sangat besar dikucurkan untuk infrastruktur, namun ketika ada korupsi maka percepatan pembangunan tidak optimal dan akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang diadakan," ungkap Marwata.
Deputi Pencegahan KPK sekaligus Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan dalam acara tersebut mengatakan bahwa sejak 2004 - Juni 2021, KPK menangani 241 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
"Memang kasus korupsinya 241 perkara, yang paling besar masih penyuapan yaitu 761 perkara tapi dari perkara-perkara penyuapan itu, penyuapannya juga terbanyak terkait pengadaan barang dan jasa jadi pengadaan barang dan jasa masih menjadi juara pertama kasus di KPK, lebih spesifiknya pengadaan konstruksi," kata Pahala.
Saat pandemi COVID-19 yaitu pada 2020 hingga Juni 2021, KPK menangani kasus korupsi terkait pengadaan konstruksi sebanyak 36 kasus.
"Artinya saat semua sedang sibuk dengan masalah kesehatan, pengadaan konstruksi tetap normal dan tetap ada korupsinya," ungkap Pahala.
Berdasarkan analisis KPK, setidaknya ada tiga titik korupsi pengadaan barang dan jasa yaitu saat perencanaan, proses pengadaan dan pelaksanaan pembangunan.
Baca juga: Presiden: Pendampingan terkait barang-jasa sepanjang tak niat korupsi
"Pertama saat perencanaan ada suap untuk mendapatkan komitmen kepastian anggaran pegnadaan itu sendiri serta komitmen fee pengaturan pemenang. Jadi kontraktor memberikan modal di awal agar daerah tersebut mendapat anggaran pengadaan," tambah Pahala.
Titik kedua adalah saat proses pengadaan dengan setidaknya empat modus yaitu meminjam bendera perusahaan lain, perusahaan pendampin fiktif, "mark up" HPS, hingga manipulasi syarat lelang.
Titik ketiga adalah dalam pelaksanaan pembangunan dengan dua modus yaitu pertama manipulasi laporan pekerjaan serta kedua pekerjaan fiktif.
"Sistem elektronik memang sudah ada tapi kondsinya seperti itu, intinya perusahaan kontraktor harus keluar uang juga agar seakan-akan ada proses tender lewat e-procurment tapi yang menang harus perusahaan tertentu," tambah Pahala.
Komposisinya, menurut Pahala, dari nilai kontrak 100 persen, maka kontraktor akan mengambil keuntungan sebesar 10-15 persen, selanjutnya untuk komitmen kepastian anggaran sebesar 7 persen, "commitment fee" sebesar 20 persen, manipulasi laporan pengadaan sebesar 5 persen sehingga nilai riil bangunan kurang dari 50 persen.
"Kenapa jembatan atau bangunan yang roboh dan lainnya, setelah saya berbicara dengan kontraktor-kontraktor ya karena banyakan potongan sehingga kualitas bangunan pemerintah tidak yang terbaik, sedangkan bila sumber dana dari swasta atau konsultan pengawas berasal dari luar negeri maka kualitas bangunan bisa maksimal," ungkap Pahala.
Dengan nilai riil bangunan hanya 50 persen dari kontrak pengadaan, menurut Pahala, menyebabkan banyak inefisiensi.
"Dampak korupsi pengadaan konstruksi ini sangat besar, kalau hanya 50 persen nilai riil bangunan maka dengan anggaran yang sama seharusnya dapat 2 jembatan, akhirnya cuma dapat 1 jembatan, kalau Rp100 miliar bisa untuk jalan berusia 5 tahun tapi kalau ada korupsinya jalanan yang baru berumur 2 tahun harus keluar uang untuk pemeliharaan, jadi inefisiensi di mana-mana," jelas Pahala.
Baca juga: KPK beri arahan kepala daerah cegah korupsi penanganan COVID-19
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021