Dia menawar harga paling rendah tetapi tidak menang.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengaku sempat mendapatkan pesan melalui aplikasi WhatsApp beberapa waktu lalu, dari salah satu peserta yang menceritakan kalah saat proses lelang proyek di daerah.

Namun Alex, saat memberi sambutan dalam webinar Bincang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) "Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi" yang disiarkan kanal Youtube StranasPK Official, Rabu, tidak merinci lebih lanjut di daerah mana yang diceritakannya tersebut.

"Dia menawar harga paling rendah tetapi tidak menang. Dari penilaian panitia atau ULP (Unit Layanan Pengadaan), harga penawarannya dianggap tidak wajar paling rendah tetapi dianggap tidak wajar karena apa. Dia menawar 80 persen di bawah HPS (Harga Perkiraan Sendiri), ada empat penawar harga di bawah 80 persen HPS dan keempat-empatnya tidak lolos dianggap harganya tidak wajar. Yang menang di urutan kelima yang harganya itu Rp1,5 miliar lebih dibandingkan harga terendah yang ditawarkan," ujarnya pula.

Alex mengatakan bahwa harga Rp1,5 miliar tersebut sekitar 15 persen dari HPS berkisar Rp9 miliar. Berdasarkan pengalaman KPK dalam menangani kasus pengadaan barang dan jasa yang melibatkan para pengambil kebijakan, ujar Alex, memang lazim ada permintaan "fee" sebesar 5 sampai 15 persen.

"Nah, saya tidak tahu apakah selisih harga yang Rp1,5 miliar yang saya ceritakan tadi itu untuk menanggulangi atau untuk menutup 'fee' tersebut yang 15 persen. Saya sudah minta koordinator wilayah terkait di KPK untuk mendalami ini, kenapa empat penawar harga terendah itu harganya dianggap tidak wajar karena di bawah 80 persen," ujar Alex.

Ia juga sempat menanyakan kepada peserta lelang tersebut mengenai ketidakwajaran harga di bawah HPS tersebut. Menurut dia, peserta lelang tersebut sudah memperhitungkan keuntungan untuk perusahaannya, namun tidak memperhitungkan adanya pemberian 'fee' untuk para pengambil kebijakan.

"Saya sempat bertanya apakah dengan harga terendah tersebut itu sudah untung. Sudah Pak Alex, itu sudah kami perhitungkan dengan keuntungan 15 persen. Memang hitungan kami itu tidak menghitung adanya pemberian 'fee' kepada pejabat-pejabat atau kepada pihak-pihak di luar. Itu murni keuntungan perusahaan sudah dihitung 15 persen, sehingga dia bisa menawar harga yang rendah di bawah 80 persen dari HPS, itu cerita dia," katanya lagi.

Lebih lanjut, Alex mengatakan hal tersebut menjadi persoalan dalam proses pengadaan barang dan jasa di daerah. KPK, kata dia, sering mengungkap adanya permintaan 'fee' 5 sampai 15 persen.

"Ini tentu menjadi persoalan kita bersama karena tidak tertutup kemungkinan banyak perusahaan rekanan dalam pemborongan pekerjaan konstruksi itu, dia menambah biaya 'fee' 5 sampai 15 persen di luar keuntungan yang diperoleh. Ini fakta-fakta yang sering diungkap oleh KPK ketika KPK melakukan penindakan terhadap perkara suap menyangkut pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi," kata Alex.

Selain itu, Alex menyebut lembaganya sepanjang 2020 sampai Maret 2021 telah menangani 36 kasus korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi.

"Terkait pengadaan di bidang konstruksi sepanjang tahun 2020 hingga Maret 2021, KPK telah menangani 36 kasus korupsi dengan berbagai modus, seperti penyuapan, pemberian gratifikasi, nilai HPS terlalu tinggi atau 'mark up' dari harga wajar dan jasa sewa 'bendera' dalam proses tender. Itu modus-modus yang biasa dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi," katanya lagi.
Baca juga: KPK duga Bupati Banjarnegara terima "fee" proyek Rp2,1 miliar
Baca juga: KPK telusuri jatah "fee" beberapa proyek di Pemkab Lampung Utara

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021