Tunis (ANTARA News) - Ketenangan kembali ke ibu kota Tunisia pada Sabtu sehari setelah kabinet transisi diambil sumpah dan penjabat Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi menjanjikan peralihan menuju demokrasi dan pemulihan ekonomi.
Setelah bentrokan dengan polisi pada Jumat, hanya beberapa pemuda berunjuk rasa terhadap perlakuan brutal polisi setelah tentara menutup wilayah pasar Medina yang menjadi tempat terjadinya kekerasan.
Namun tidak ada ketegangan berarti di jalan sekitar, dua pekan setelah unjuk rasa yang melibatkan mayoritas warga negaranya sampai mampu mengusir presiden Zine El Abidine Ben Ali dari kekuasaannya. Sejak itu, negara tersebut sering mengalami unjuk rasa guna menghapus setiap peninggalan dari rezimnya.
Jalan utama Habib Bourguiba Avenue, jalan penghubung dari kebanyakan unjuk rasa, juga umumnya tampak kembali normal walau masih terlihat sekelompok unjuk rasa kecil.
Di wilayah barat laut Tunisia, dua petugas polisi dan seorang tentara terluka dalam pertikaian dengan para pemrotes yang membakar kantor polisi setempat pada Jumat malam, menurut laporan kantor berita TAP pada Sabtu.
Pasukan keamanan kemudian berhasil mengembalikan ketenangan, katanya.
Atas perannya, Human Rights Watch pada Sabtu meminta penjabat pemerintah "secepatnya" menyelidiki pembunuhan para pengunjuk rasa oleh pasukan keamanan pada awal bulan ini saat rezim terdahulu masih berkuasa.
"Anggota dan komandan bertanggung jawab atas pembunuhan tidak mendasar itu harus diidentifikasi dan bertanggung jawab," kata Eric Goldstein, wakil direktur HRW untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara kepada wartawan di Tunis.
Kelompok itu mengatakan mereka telah menemukan bukti bahwa sekurangnya 21 orang tewas oleh peluru tajam pada awal bulan ini di kota Kasserine dan Tala.
Pemerintah Tunisia menyatakan sebelumnya jumlah kematian mencapai 78 orang, sementara PBB mengatakan sekurangnya 100 orang tewas.
Ghannouchi mengumumkan secara langsung pada Jumat malam untuk mempertahankan kabinet yang ia rombak, mengatakan pembicaraan mengenai komposisinya dilakukan secara terbuka oleh seluruh pihak termasuk oleh pihak politik, sipil dan perguruan tinggi.
"Dua tantangan penting yang menghadapi Tunisia ialah transisi menuju demokrasi dan peluncuran ulang aktivitas ekonomi," katanya melalui stasiun televisi swasta.
Negara "memiliki niat cukup untuk menyukseskan transisi menuju demokrasi kali ini yang akan membuat seluruh warga Tunisia, semua asosiasi politik, mengekspresikan diri mereka dalam kebebasan penuh dan memilih pemimpin mereka setelah masa transisi ini," kata Ghannouchi.
Perdana menteri berusia 69 tahun itu -- yang menjabat sejak 1999 dan merupakan peninggalan dari rezim Ben Ali -- telah berjanji akan mengadakan pemilihan demokratis dalam enam bulan ke depan.
Sementara itu, Austria mengumumkan segera membekukan seluruh kemungkinan aset milik Ben Ali, istrinya Leila Trabelsi serta teman dekat dan anggota keluarga.
Swiss kemudian mengambil langkah serupa dan diikuti oleh Uni Eropa.
Pada Rabu, Tunis menerbitkan surat penangkapan internasional terhadap Ben Ali, yang dituduh bersama istri dan anggota keluarga lain yang semula sangat berkuasa atas mendapatkan aset dan transfer keuangan ke luar negeri secara ilegal selama 23 tahun berkuasa.
Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari dan 33 anggota keluarga besarnya telah ditangkap di Tunisia.
(SYS/R-IFB/M016)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011