Kairo (ANTARA News/RIA Novosti-OANA) - Presiden Mesir, Hosni Mubarak pada Sabtu membubarkan pemerintah negara itu akibat unjuk rasa selama beberapa hari.

"Saya meminta pada Sabtu bahwa pemerintahan dibubarkan. Pada Ahad saya akan menunjuk pemerintahan yang baru," kata Mubarak, 82 tahun saat berpidato melalui televisi.

Mesir sebagai negara terbesar di kawasan Arab dengan populasi sebanyak 80 juta jiwa penduduk mengalami kericuhan massal dari pihak oposisi pada 25 Januari dengan ribuan warga yang meminta Mubarak untuk turun setelah berkuasa selama tiga dasawarsa.

Dalam pidatonya, presiden mengatakan dukungannya atas hak masyarakat untuk menyatakan keinginannya dan mengadakan unjuk rasa namun menambahkan bahwa dalam sejumlah hal, para pengunjuk rasa "telah berada di luar batas kewajaran".

Mubarak juga berjanji untuk meningkatkan taraf hidup dan lebih mendemokratiskan Mesir namun sepertinya penjelasan dia tidak digubris secara serius.

Setidaknya 18 warga tewas dan lebih dari 1.000 mengalami cedera akibat bentrokan di dalam negeri sejak dimulainya unjuk rasa yang diilhami oleh aksi berjuluk "Revolusi Melati" di Tunisia yang presidennya, Zine Al Abidine Ben Ali "kabur" ke Arab Saudi pada awal Januari.

Menurut laporan terdapat sejumlah tindak penjarahan di Kairo.

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menyarankan kepada Mesir untuk menghindari kekerasan.

"Sebagaimana keadaan terus menyebar, perhatian pertama kami adalah mencegah korban jiwa atau cedera. Jadi saya ingin menyerukan kepada pemerintah Mesir untuk menghindari kekerasan apapun dalam melawan para pengunjuk rasa yang damai," kata Obama.

Moskow percaya bahwa upaya tunggal dalam mengembalikan perdamaian di Mesir adalah dengan memastikan bahwa segala tindakan dari seluruh pihak sejalan dengan hukum, kata Kementerian Luar Negeri Rusia pada Jumat.

"Apa yang sedang terjadi di Mesir memicu keprihatinan yang mendalam di Moskow," kata juru bicara Alexander Lukashevich menambahkan bahwa tantangan yang paling penting adalah memastikan perkembangan keadaan di Mesir tidak berada di luar jalur hukum.

"Kami meyakinkan bahwa inilah upaya tunggal dalam mengembalikan stabilitas di negara itu untuk memastikan keinginan semua pihak dari penduduk dan mencari solusi dalam menekan masalah," kata Lukashevich.(*)

(Uu.KR-BPY/H-RN)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011