...semua berubah seketika, posisi Amerika telah bergeser dari 'kami tak mau berpihak' menjadi 'memuji keberanian dan keluhuran rakyat Tunisia'

Jakarta (ANTARA News) - Diktatur, maling sekaligus klien Barat, Zein al-Abdine Ben Ali, begitu dicintai Paris dan Washington. Tapi cinta itu hilang beberapa jam sebelum dia terusir dari Tunisia.

Kekuasaannya berakhir tidak oleh militer atau kudeta istana, namun oleh gerakan berbasis rakyat yang terdiri dari serikat pekerja, asosiasi profesional, para pengangguran, petani, kelompok kiri, kaum liberal, dan aktivis-aktivis intelek Islam, pria dan wanita.

Salah satu slogan mereka yang paling menonjol dan kemudian bergaung ke dunia Arab dan sekitarnya adalah, la khowf ba’ad al-yowm atau "Tidak Ada Lagi Takut Mulai Sekarang."

Ada harapan bahwa Tunisia kini akan mengembangkan sistem politik partisipatif yang menghormati hak-hak warga negara, akan menata dan membangun perekonomiannya, mengimplementasikan keadilan sosial, dan melepaskan diri dari rangkulan (koalisi) Barat-Israel.

Kendati begitu, revolusi itu menghadapi bahaya. Meskipun kepala ular telah dipotong, kepentingan para konglomerat yang berada di belakang rezim Ben Ali masih kukuh mencengkram negeri, dan mereka akan berjuang mati-matian untuk membatasi dan menghalau partisipasi rakyat Tunisia.

Demi alasan ini, adalah krusial bagi warga Tunisia untuk melanjutkan gerakan mereka dengan menggemakan slogan al-intifada mustamura atau ‘intifada berlanjut.’

Di luar mafia lokal Tunisia, ada banyak alasan lain yang dapat menggagalkan revolusi Tunisia: yaitu rezim-rezim Arab yang ketakutan (terimbas Tunisia), terutama mereka yang selama ini menjadi hamba Barat, Israel, Amerika Serikat, Prancis, dan elite Barat lainnya.

Salah satu atau lebih dari faktor-faktor penghambat revolusi Tunisia ini akan diam-diam mensponsori kekacauan di Tunisia dalam berbagai bentuk.

Tapi kita mendapat keyakinan diri yang tinggi, bahwa dalam pekan-pekan terakhir ini rakyat Tunisia telah membuktikan dirinya berani dan telah membuka matanya dari semua bentuk ancaman.

Apapun yang terjadi ke depan di Tunis, dunia Arab telah memasuki satu babak baru. Tunisia telah menunjukkan bahwa "jalanan Arab’ memiliki harapan lebih lapang dan kekuataan lebih besar, ketimbang kebanyakan dunia Arab yang berdekade-dekade ditakut-takuti penindasan.

Kini kita tahu bahwa Arab marah terhadap korupsi dan mismanajemen oleh rezim-rezim, oleh pemberangusan diskusi dan perdebatan, oleh kekeliruan dalam membangun sistem kesehatan dan pendidikan fungsional, oleh kepengecutan saat menghadapi Zionisme dan menjadi tempat pangkalan-pangkalan militer asing.

Kini kita tahu bahwa Arab bisa memaksa penguasanya mengubah kebijakannya atau jika tidak, akan menghadapi nasib seperti Ben Ali.

Secara khusus, para abdi Barat berada dalam bahaya. Liputan media televisi milik Saudi membuat bahaya itu semakin nyata.

Dalam beberapa pekan terakhir, Aljazair menghadapi demonstrasi dan kerusuhan. Sebelumnya ribuan orang berbaris menuntut perbaikan kehidupan ekonomi di Yordania.

Satu demonstrasi yang digelar gedung Kedutaan Besar Tunisia di Cairo menyelamati gerakan intifada, dan meneriakkan semboyan lama Palestina, "Revolusi Sampai Jaya."

Sebelum ini Mesir menjadi pemimpin politik, budaya dan militer dunia Arab, tapi kini kepemimpinan itu tak lebih berbobot daripada Qatar.

Kebanyakan rakyat Mesir kelaparan dan sekitar sepertiga penduduk buta huruf. Rezim Mubarak adalah alat Zionisme dan imperialisme, sebaliknya mereka adalah pengepung bangsa Palestina.

Tatanan sosial negara itu telah dirobek-robek salafisme dan sektarianisme. Jika ada tempat yang memerlukan dosis Tunisia, maka pastilah itu Mesir.

Inspirasi dari Tunisia adalah hal yang dapat membangkitkan kepercayaan diri Mesir, menghentikan kejatuhan Mesir, dan memberi dorongan untuk satu perubahan radikal.

Jalan keluar dari kebencian komunal dan kegagalan sosial adalah aksi rakyat, melibatkan seluruh warga negara, tanpa melihat agama, sekte, etnis, suku atau daerah.

Kejayaan Tunisia ini tidak dimenangkan dengan memanfaatkan romantisme nativis, kekacuaan sektarian, atau manipulasi agama.

Rakyat Tunisia mengusung slogan "Kekuassan Untuk Rakyat" dan poster-poster Che Guevara, ketimbang fatwa ulama.

Ini akan berdampak kultural secara jangka panjang terhadap dunia Arab, setidaknya menyamai dampak Revolusi Islam Iran pada 1979 yang telah menyemangati Islamisme Arab hingga kini.

Di sini, saya hendak menegaskan fakta bahwa revolusi Arab pertama di abad ini sepenuhnya berkarakter sekuler, tapi saya tak ingin memasuki diskursus sederhana 'sekuler versus Islam.'

Kenyataannya, para aktivis Islam di Tunisia itu sama aktifnya dengan siapapun dalam perjuangan itu, dan aktivis Islam Tunisia itu secara politik amat pluralis dan progresif logis. Partai Nahda pimpinan Rashid al-Ghannushi adalah contoh paling tepat untuk ini.

Yang pasti gerakan-gerakan itu telah membuka hipokrasi terus-terusan pemerintah negara-negara Barat, seperti halnya penglekatan terus menerus media mereka dengan kebijakan luar negeri. Sampai hari kemenangan revolusi dicapai, media Anglosaxon tetap bungkap sebisa-bisanya.

Ini berbeda sekali ketika mereka meliput Gerakan Hijau Iran, yang basis sosialnya sebenarnya lebih sempit, tetapi dikemas nyaris seperti pemberontakan. Martir gerakan itu mereka cetak tebal-tebal dan dibesar-besarkan, sedangkan berhalaman-halaman kebohongan ditulis dengan menyebutnya sebagai "revolusi Twitter".

Ya, ini (revolusi Tunisia) adalah gerakan massa sekuler yang menyerukan kebebasan dan hak-hak sipil, dengan memanfaatkan media sosial, dan menarik nilai-nilai universal ke (wilayah) utara pantai Mediterania itu, tetapi tak ada seorang pun ingin mengetahuinya.

Tapi kini, semua berubah seketika, posisi Amerika telah bergeser dari "kami tak mau berpihak" menjadi "memuji keberanian dan keluhuran rakyat Tunisia".

Dalam sekejap, media Barat mendapati bahwa Ben Ali itu ternyata diktatur korup. Kisah baru pun ditulis, disesuaikan dengan peristiwa itu.

Inilah yang Anda sebut fait accompli. Dan untuk kesekian kalinya, rakyat Arablah yang melakukan semua itu. Seperti inilah kemenangan tampak.

Robin Yassin-Kassab adalah pengarang novel "The Road from Damascus" terbitan Penguin Books. Tulisan aslinya "This Is What Victory Looks Like" dimuat di Palestine Chronicle pada 14 Januari 2011.

Penerjemah: Robin Yassin-Kassab
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011