"Seniman mewakili publik. Ada negosiasi mana (karya) yang personal, mana yang komunal. Bahwa seniman yang mewakili publik itu sudah seharusnya," kata Bambang dalam diskusi publik yang digelar Dewan Kesenian Jakarta bertajuk "Mural, Estetika, Etika dalam Perspektif Ekspresi Demokrasi", Selasa.
Dengan demikian, Bambang melanjutkan, sudah seharusnya para seniman jalanan tidak takut untuk menyuarakan hak kepada para penguasa. Tidak hanya negara, tetapi juga organisasi massa.
Baca juga: Anies harap seni dipamerkan di ruang terbuka
Bambang juga mengatakan, ekspresi dalam seni tak bisa dilarang namun bisa direduksi.
Bambang lalu menyoroti salah satu karya seorang seniman di Jakarta yang bertuliskan "Aku tak percaya hari akhir, aku percaya Jakarta hujan sedikit pasti banjir." Menurutnya, karya tersebut sangat baik karena pesannya dapat ditangkap meski penyampaiannya tidak begitu frontal.
"Tentu karya tersebut menggelitik kita dan membuat penguasa juga akan berpikir. Itu yang saya kasih pesan ke teman-teman agar terjadi lobbying yang tidak langsung frontal head to head," katanya.
Baca juga: Jokowi: mural boleh, asal tidak kumuh
Bambang mengatakan, street art atau seni jalanan pada dasarnya sangat beragam karena adanya pop culture dan ruang-ruang yang beririsan dengan industri, sementara ada keinginan dalam diri seniman untuk tetap anonim.
Maka, menurut Bambang, dibutuhkan kedewasaan dalam diri seniman misalnya dengan membuat asosiasi atau kelompok yang kuat untuk bisa bersuara. Selain itu, perlu adanya fasilitas dan ruang dialog yang disediakan.
"Saya melihat bahwa Undang-undang Pemajuan Kebudayaan belum termanifestasi dalam kelompok-kelompok yang begitu banyak. Itu harus ada progres. Mesti ada ruang untuk terjadinya dialog," katanya.
"Saya juga membayangkan Dewan Kesenian Jakarta sebagai institusi kesenian yang memfasilitasi sayembara mural, bukan kepolisian," pungkasnya.
Baca juga: "Street art" bisa jadi medium pesan efektif dalam gerakan sosial
Baca juga: Seni mural digelar di Peunayong angkat sejarah Aceh
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021