Jakarta (ANTARA News) - Deputi Seswapres Bidang Kesra dan Kemiskinan Bambang Widiyanto menyatakan sasaran untuk mengurangi tingkat kemiskinan tercapai yang ditunjukkan dengan penurunan garis kemiskinan dari tahun ke tahun.
"Sasaran tingkat kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 sebesar 12 - 13,5 persen tercapai," katanya pada Diskusi "Polemik Data Kemiskinan: Fakta atau Persepsi" di Jakarta, Jumat.
Diskusi juga menghadirkan tiga pembicara lain yakni Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Sujana Ruchiyat, Dekan Fakultas Ekonomi UI Prof Dr Firmanzah, dan Kepala Biro Humas dan Hukum BPS Sairi Hasbullah.
Bambang yang juga Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan data penurunan garis kemiskinan per tahun sejak 2007 hingga 2010.
Ia menyebutkan pada tahun 2007 menunjukkan data 16,58 persen penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, lalu garis kemiskinan turun pada 2008 menjadi 15,42 persen, pada 2009 turun lagi menjadi 14,15 persen, dan turun kembali menjadi 13,33 persen pada 2010.
Ia menyatakan pada periode Maret 2009 - Maret 2010 sebanyak 1,5 juta orang berhasil keluar dari garis kemiskinan.
Bambang optimistis proyeksi pada 2011 ini garis kemiskinan bakal kian menurun menjadi 11,5- 12,5 persen.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak berbohong dalam mengentaskan kemiskinan sebagaimana yang dituduhkan sementara tokoh masyarakat dan tokoh lintas agama baru-baru ini.
Pemerintah, katanya, sangat berkomitmen untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dengan melakukan berbagai program yang langsung menyentuh sasaran seperti bantuan langsung tunai (BLT).
"Tidak benar bila ada anggapan pemberian BLT itu membodohi rakyat," katanya.
Ia mencontohkan masyarakat menerima subsidi dari BBM bensin premium sebesar Rp3.500 dari harga yang dipatok pemerintah sebesar Rp4.500 karena harga BBM itu di luar negeri paling tidak mencapai Rp8.000 per liter.
"Kalau perbulan konsumsi rata-rata seratus liter maka dari subsidi bensin saja pemerintah memberikan Rp350.000, dan masyarakat menerima subsidi ini. Masa memberikan Rp100 ribu melalui BLT dianggap membodohi," katanya.
Tiga Program
Sementara itu Sujana menyebutkan bahwa dalam pengentasan kemiskinan, pemerintah menempuh melalui tiga program.
Kelompok program pertama berupa bantuan sosial terpadu berbasis keluarga dengan anggaran pembiayaan sebesar Rp48 triliun dari APBN, kelompok program kedua berupa penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat sebesar Rp12 triliun, dan kelompok program ketiga berupa penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil sebesar Rp2 triliun.
"Kalau pemerintah dianggap neolib, tak mungkin menyediakan anggaran Rp48 triliun berupa subsidi penuh ke masyarakat miskin," katanya.
Sujana menyampaikan data bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia per tahun paling cepat dibandingkan dengan negara lain yakni 0,8 persen sedangkan China 0,15 persen, Brazil 0,11, Filipina 0,01 persen, India bahkan -0,18 dan Meksiko -0,48 persen.
Sedangkan Sairi Hasbullah menegaskan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metodologi survei statistik sesuai standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan merupakan data statistik resmi negara untuk mengukur kinerja pembangunan.
"Ketika disampaikan data kemiskinan yang berkurang tidak bisa masyarakat yang melihat ada orang miskin di sekitarnya bertambah berarti kemiskinan bertambah, itu subyektif," katanya.
Sementara Prof Dr Firmanzah menyatakan bahwa perdebatan masalah kemiskinan bukan soal data melainkan soal interpretasi.
"Domainnya berbeda, data yang disampaikan pemerintah itu kuantitatif tetapi diinterpretasi sebagian publik secara kualitatif. Jadi tidak perlu panik," katanya.(*)
(T.B009/Z003)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011