Tiap jam 5 sore ketika mobil saya terjebak macet di sini, rasanya kepala saya mau pecah... pusing!
Jakarta (ANTARA News) - Agaknya hanya Tuhan yang mampu menyelesaikan kemacetan di Jakarta. Pembuat kebijakan di mana masyarakat menggantungkan harapnya agar Jakarta lebih nyaman disusuri, sepertinya sudah sangat kesulitan menghadapinya.
Kendaraan terus bertambah, jalan-jalan mendadak menyempit, tak saja oleh kebiasaan buruk mengkavling jalan umum seperti trotoar dan sisi jalan untuk berniaga, tapi juga oleh gedung-gedung yang dibangun tanpa mengindahkan tata kota.
Transportasi umum yang seharusnya disediakan kebijakan publik --tentu saja bukan hanya pemerintah tapi juga wakil rakyat yang melegislasi aturan-- tidak lagi nyaman.
Busway datang telat, penumpang menumpuk di halte, sebagian menjadi kesal, lalu melirik lagi kendaraan pribadi. Sementara setiap kali ada inisiatif membatasi tumpahnya kendaraan ke jalanan, setiap kali itu pula protes muncul dan membesar karena pebisnis merasa akan rugi jika orang beralih ke kendaraan umum massal.
Tak seperti mesin dan komputer yang mengoperasikan sistem transportasi massal seperti subway dan monorel di kota-kota modern dunia, busway sering tidak disiplin.
Mesin dan komputer bekerja disiplin dan tak mengeluh sehingga angkutan massal datang tepat waktu. Orang menjadi tertib bekerja, lebih bisa mengatur waktu, cukup istirahat, lebih segar saat bekerja, dan bertambah produktif.
Andai monorel dibangun, mungkin jalan tak akan terlalu sering diperbaiki. Kalaupun diperbaiki tak akan begitu mengganggu lalu lintas, karena letaknya di atas jalan
Kini, Jakarta semakin macet saja.
Kamis kemarin, seharian saya menyusuri Jakarta, untuk menyelami kemacetan itu, sekaligus menemui banyak orang yang lalu saya ketahui sudah sangat dirusak haknya oleh kemacetan, meski ada diantaranya yang terpaksa menganggapnya biasa.
"Selama dua tahun pakai motor di Jakarta, saya jadi biasa sama macet," kata Amar Hutagalung (30), pengendara sepeda motor karyawan sebuah kantor di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Amar menghabiskan waktu satu jam untuk mencapai kantor, padahal jarak rumah ke kantornya hanya 10 km.
Jakarta memang semakin semrawut, jalan-jalan digali dengan tujuan macam-macam, dari fondasi jalan layang, instalasi pipa air minum dan kabel telepon, hingga penguatan jalan di jalur busway .
Saya kadang bertanya, mengapa sih gampang sekali main bongkar jalan, padahal sudah tahu jalan selalu dipadati kendaraan?
Memaki orang
Tengok kemacetan di daerah Antasari yang kian parah setelah jalan menyempit menyusul pembangunan jalan layang Blok M - Antasari. Seperti kebanyakan tempat di Jakarta yang dijajah macet, kejiwaan manusia pun terprovokasi.
"Membuat saya emosi saja," kata Handoko Putro (27), pengendara sepeda motor, yang terjebak macet persis depan Kantor Walikota Jakarta Selatan.
Karyawan swasta di daerah Wolter Monginsidi itu rutin melintasi jalur Antasari - Blok M. "Kadang, pagi-pagi sekali saya sudah memaki orang yang menyerobot mencari celah di depan motor saya," katanya.
Kemacetan di sini memang parah, mulai perempatan dekat Markas Besar Polri arah terminal Blok M. Proyek infrastruktur mengambil badan jalan sehingga jalan menyempit, sementara alat berat angkuh menganeksasi jalan di bawah kawalan pagar bertuliskan "Proyek Pembanguan Flyover Blok M Antasari."
Ruas jalan depan pertigaan Kemang, khususnya dari arah Cipete dan dialihkan ke Jalan Brawijaya sebelum masuk kembali ke Jalan Antasari, depan Kantor Walikota Jakarta Selatan.
Saya memarkir sepeda motor di satu sudut legal, lalu berjalan kaki ke depan Pasaraya Blok M. Dari jauh, saya sudah melihat kendaraan mengular berpuluh-puluh meter.
Seperti juga para pejalan kaki lainnya, saya berasa tidak nyaman. Bayangkan, para pengendara sepeda motor masuk menginvasi trotoar, lalu menyisihkan para pejalan kaki. Kebiasaan buruk ini umum terjadi di ibukota, nyaris tanpa peringatan polisi.
Ironisnya, gaya hidup main terabas ini pun, tak bisa menaklukan jalanan Jakarta. "Saya bisa lebih dari satu jam sampai di kantor, kalau pagi-pagi kena macet di Mampang," kata Amar Hutagalung.
Amar, seperti jutaan pekerja lainnya di Jakarta, hanya bisa menyiasati macet dengan menunda waktu pulang kerja. Kini bayangkan, berapa waktu Amar untuk keluarganya? Dia harus berangkat jam 6 pagi, pulang kira-kira jam 8.30 malam.
Casablanca
Pemerintah terus membangun infrastruktur jalan untuk mengurangi kemacetan. Tak hanya jalan layang Antasari - Blok M , tapi juga di kawasan Casablanca di mana salah satu pusat bisnis dan perkantoran utama Jakarta berada.
Di sini jalan layang dibangun hingga Kampung Melayu di timur dan Tanah Abang di barat.
Saya menyusuri Jalan Satrio dari arah Tanah Abang, mengarah ke Kampung Melayu, dengan berjalan kaki. Dari depan gedung Standard Chartered hingga Mal Ambassador di kawasan Mega Kuningan, saya hanya butuh 15 menit.
Padahal, Satrio Wibowo (37), pengemudi dan pemilik mobil pribadi yang biasa melintas di kawasan itu, mengaku untuk jarak yang sama dia menghabiskan waktu 30 menit.
"Tiap jam 5 sore ketika mobil saya terjebak macet di sini, rasanya kepala saya mau pecah... pusing!," kata Satrio.
Kekesalan bisa memuncak setiap saat, apalagi kemacetan di kawasan yang kira-kira sejauh 8 km, bertambah parah. Lalu lintas di sini sering menjadi kian macet, manakala pengendara memutar berbalik arah.
"Tidak ada pembangunan jalan layang saja sudah macet sekali di sini," kata Satrio.
Satrio punya kiat untuk mengurangi jebakan macet. Dia menggunakan internet untuk mencari informasi kondisi lalu lintas. Apalagi, itu semua kini menjadi lebih mudah, setelah ada ponsel pintar seperti Blackberry.
"Saya sering pantau video kondisi jalan lewat Blackberry," aku Satrio.
Pantauan via Blackberry ini membuatnya bisa mendapatkan panduan untuk memilih jalan tepat untuk mengindari macet.
Menyempitnya jalan di sekitar situ diperparah oleh operasi parkir sepeda motor di sepanjang trotoar jalan. Para pengendara pun terpaksa melambatkan laju kendaraannya.
Eka prasetya (25), pengendara sepeda motor warga Pondok Labu yang saya temui di jongko minuman di pinggir jalan, menyatakan pasrah dengan keadaan ini. "Ibaratnya maju kena mundur kena," katanya.
Menurutnya, dari kawasan Fatmawati hingga Mega Kuningan yang jaraknya kira-kira 20 km, tak ada jalan yang tak macet.
Namun yang sering membuatnya frustasi adalah saat jam pulang kantor tiba. Jalur "sependek itu" --jika dibandingkan jarak Bandung-Jakarta yang 130 km-- harus ditempuhnya selama 2 jam.
"Saya coba semua celah yang kosong bahkan sampai ke trotoar tetapi waktu yang saya tempuh tetap saja sama, saya akhirnya pasrah aja." katanya.
Ayo, siapa yang bisa membantu Eka, Satrio, Amar dan jutaan lainnya seperti mereka, sampai ke rumah dengan waktu cukup untuk keluarga dan tiba di kantor dengan badan segar sehingga lebih produktif bekerja? (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011