Baghdad (ANTARA News/AFP) - Serangan bom mobil besar pada acara pemakaman di kawasan Syiah Baghdad menewaskan 48 orang Kamis, hari paling mematikan di Irak dalam waktu lebih dari dua bulan.
Ledakan itu merupakan yang paling banyak merenggut korban dalam serangkaian pemboman Kamis yang menewaskan 53 orang di kota itu.
Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan dalam 10 hari ini yang menjatuhkan korban dalam jumlah lebih besar dibanding dengan pada November dan Desember.
Peningkatan serangan, yang sebagian besar ditujukan pada muslim Syiah, terjadi lebih dari sebulan setelah Perdana Menteri Nuri al-Maliki membentuk pemerintah persatuan nasional, yang mengakhiri kebuntuan sembilan bulan setelah pemilihan umum Maret.
Seorang pejabat kementerian dalam negeri mengatakan bahwa bom mobil itu, yang meledak di luar tenda dimana pelayat berkumpul untuk acara pemakaman, menewaskan 48 orang dan melukai 121.
Ledakan sekitar pukul 13.30 (pukul 17.30 WIB) di daerah Shuala itu menghanguskan tenda tersebut dan meninggalkan kubangan darah serta serpihan pakaian dan sepatu, menurut laporan wartawan AFP.
Sejumlah mobil juga hancur, sementara jendela rumah-rumah berdekatan rusak. Pasukan keamanan menutup sejumlah jalan utama yang mengarah ke lokasi ledakan dan memberlakukan jam malam kendaraan.
Polisi dan prajurit yang datang ke lokasi kejadian disambut amarah massa yang menyerang mereka dengan batu, kata pejabat itu, dengan menambahkan bahwa "orang-orang bersenjata" melepaskan tembakan ke arah pasukan keamanan dan mendesak mereka menjauh dari lokasi ledakan.
Maliki memerintahkan penangkapan kepala keamanan daerah itu, Letnan Kolonel (AD) Ahmed al-Obeidi, setelah serangan tersebut.
Dalam ledakan-ledakan lain di sekitar Baghdad, lima orang tewas dan 21 cedera dalam serangan bom pinggir jalan dan bom yang dipasang di sebuah minibus.
Jumah kematian 53 pada Kamis itu merupakan yang tertinggi di Baghdad sejak 2 November, ketika 11 bom mobil mengguncang kota itu, menewaskan 63 orang dan melukai hampir 300 di kawasan yang berpenduduk mayoritas Syiah.
Serangan-serangan Kamis itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang meningkat lagi di Irak dan terjadi beberapa bulan setelah penarikan pasukan AS.
Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir di Irak, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.
Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan pada 2010, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.
Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.
Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.
Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.
Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, beberapa bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.
Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.
Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.
Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.
Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011