Kalau wabah di suatu satu negara mau jadi endemi, maka surveilansnya harus bagus

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia ingin agar wabah COVID-19 di Tanah Air menjadi endemi seperti penyakit endemik demam berdarah dan malaria. Menjadi endemi berarti COVID-19 tetap ada di suatu wilayah atau daerah tetapi kasusnya bisa terus berada pada kasus minimum selama minimal satu kali masa inkubasi virus atau lebih dari tujuh hari.

Untuk melihat apakah wabah COVID-19 di suatu provinsi, kabupaten, kota atau secara nasional di Indonesia sudah mencapai kasus minimum tersebut, maka perlu melihat kurva harian berdasarkan surveilans masing-masing daerah. Jika dipantau terus menerus, kurva harian atau jumlah kasus harian harus menunjukkan angka terus menurun sampai batas minimum dan menetap dalam satu kali masa inkubasi.

Surveilans menjadi kunci utama untuk bisa menentukan apakah wabah COVID-19 di suatu wilayah sudah menjadi endemis. Surveilans berkaitan dengan pengujian (testing) dan pelacakan kontak (contact tracing).

Jika kapasitas surveilans sudah memadai dan memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), maka kurva harian kasus COVID-19 di daerah itu bisa menunjukkan pergerakan kasus di wilayah itu dengan baik dan benar sehingga bisa menjadi data yang dapat diandalkan.

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kurva harian di tiap daerah berbeda-beda. Jika melihat secara nasional, maka kurva harian yang dilihat secara nasional pula. Namun, jika ingin melihat apakah COVID-19 sudah menjadi endemis di suatu provinsi, maka harus melihat kurva harian spesifik di provinsi itu.

Demikian pula, jika ingin mengetahui COVID-19 sudah menjadi endemis di kabupaten tertentu, maka harus melihat kurva harian di kabupaten tersebut. Tidak bisa disamakan kurva harian satu daerah dengan daerah lain. Semua daerah baik provinsi, kabupaten, kota dan kecamatan harus memiliki surveilans yang memadai, konstan dan baik untuk bisa melihat kurva harian di masing-masing daerah itu. Surveilans juga dilakukan kepada masyarakat yang menetap di masing-masing daerah.

“Kalau wabah di suatu satu negara mau jadi endemi, maka surveilansnya harus bagus,” ujar Yunis.

Sementara saat ini, diketahui bahwa kapasitas surveilans masih belum merata di masing-masing daerah baik di provinsi, kabupaten, kota dan kecamatan di Indonesia. Bahkan surveilans untuk skala desa juga diharapkan memadai untuk melihat kurva kasus dan apakah COVID-19 di desa bergerak menjadi endemis.

Tentu, itu menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas surveilans tiap daerah sehingga bisa menangkap kasus dan gambaran penularan yang terjadi di daerah itu dengan baik agar kurva harian juga menjadi baik dan komprehensif.

Berdasarkan standar WHO, kapasitas surveilans yang memadai adalah mampu melakukan pengujian 1 orang per 1.000 penduduk per pekan atau per hari, dan pelacakan kontak untuk satu kasus COVID-19 adalah 20-30 orang. Sementara pelacakan kontak di Indonesia saat ini masih delapan orang untuk satu kasus COVID-19. Oleh karena itu, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sarana dan prasarana harus ditingkatkan untuk penguatan surveilans di Tanah Air.

Baca juga: Presiden Jokowi : Perlu siapkan transisi dari pandemi ke endemi

Baca juga: BNPB: Pengendalian pandemi COVID-19 jadi pengubah situasi ke endemi

Tetap bisa menyerang

Sementara untuk mencegah lonjakan kasus COVID-19, menekan kasus sampai batas minimum dan mencegah kasus baru dalam rangka menjadikan wabah COVID-19 sebagai endemi, menurut epidemiolog dari Universitas Andalas Sumatera Barat Defriman Djafri, ada tiga kunci utama, yakni protokol kesehatan (prokes), vaksinasi COVID-19, dan 3T (pengujian, pelacakan kontak dan perawatan). Ketiga kunci pencegahan itu harus dilakukan secara simultan dan diperkuat.

Hingga saat ini, tidak ada satu pun kunci tunggal yang secara 100 persen bisa mencegah infeksi COVID-19. Semua strategi kunci itu bersifat menyeluruh, saling melengkapi dan saling berkaitan.

Tanpa protokol kesehatan yang ketat, meskipun vaksinasi digencarkan, maka virus COVID-19 tetap bisa menyerang dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian.

Jika implementasi surveilans atau 3T rendah, maka tidak bisa didapati angka riil keberadaan kasus dan tingkat penularan COVID-19 di suatu wilayah. Itu juga akan menyebabkan intervensi kesehatan yang kurang tepat, dan terlambatnya isolasi dilakukan bagi yang terinfeksi sehingga virus sudah menyebar ke mana-mana antar satu orang ke orang lain dan mengakibatkan penyebaran COVID-19.

Jika kapasitas pelacakan kasus minim, maka data kasus dan penularan COVID-19 yang ditemukan di lapangan tidak komprehensif dan tidak menggambarkan jumlah kasus COVID-19 yang sebenarnya dan seberapa luas penularannya di suatu daerah.

Alhasil, kurva harian menjadi tidak komprehensif dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar yang tepat dan baik untuk menetapkan kebijakan penanganan kesehatan dan intervensi memutus rantai penyebaran COVID-19 yang tepat sasaran. Dengan demikian, COVID-19 terus berkeliaran menginfeksi dengan mudah di tengah masyarakat.

Seluruh elemen masyarakat juga harus menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin, yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas.

Jika warga bisa melakukan setidaknya menghindari kerumunan dan memakai masker, maka penularan COVID-19 dapat dicegah, karena penularan COVID-19 berlangsung dari manusia ke manusia.

Untuk itu, masyarakat harus punya kesadaran tinggi untuk menerapkan protokol kesehatan sebagai tanggung jawab diri sendiri dan untuk melindungi orang lain sehingga implementasi protokol kesehatan menjadi kebiasaan baru di tengah kehidupan bersama COVID-19. Dengan demikian, tidak ada lagi satu pun warga yang mengabaikan protokol kesehatan dalam melakukan kegiatan di kehidupan sehari-hari apalagi berinteraksi dengan sesama.

Selain pelaksanaan protokol kesehatan yang konsisten, yang juga penting dilakukan masyarakat adalah menjalani vaksinasi COVID-19. Dengan mendapat vaksin, maka kekebalan tubuh akan bangkit sehingga bisa melawan serangan virus penyebab COVID-19. Dengan demikian, semakin berkurang orang yang menderita kesakitan akibat COVID-19. Sekalipun terinfeksi, orang yang telah divaksinasi dapat menjalani proses penyembuhan lebih cepat karena tidak jatuh pada kondisi berat dan kritis.

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa seluruh strategi kunci untuk pencegahan dan pengendalian COVID-19 itu adalah satu-kesatuan.

Dengan memiliki surveilans yang baik, penerapan protokol kesehatan yang ketat dan konsisten, cakupan vaksinasi COVID-19 ke seluruh penduduk Indonesia, serta penguatan 3T, maka Indonesia bisa mengubah wabah COVID-19 di Tanah Air menjadi endemis. Tentunya, pelaksanaan semua strategi itu membutuhkan kerja sama, sinergi dan dukungan seluruh elemen masyarakat untuk menyukseskannya.

Baca juga: Ahli: Vaksinasi tekan kasus COVID-19 jadikan pandemi ke endemi

Baca juga: Menkes sampaikan empat hal Indonesia menuju endemi

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021