Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP) menemukan 487 kasus dugaan tindak pidana korupsi keuangan negara/daerah senilai Rp939,04 miliar dan 11,66 juta dolar AS sepanjang 2008 hingga 2010.
"Hasil audit investigatif terhadap 487 kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara/daerah sebesar Rp939,04 miliar dan 11,66 juta dolar AS," ujar Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, dari 487 kasus tersebut, baru 95 kasus atau 19,51 persen yang telah diputus pengadilan akibat lamanya proses peradilan.
Selain itu, BPKP juga sudah memberikan bantuan penghitungan kerugian keuangan negara/daerah pada 1.333 kasus tindak pidana korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp5,33 triliun, 46,79 juta dolar AS, 4,22 juta ringgit Malaysia, 10,28 juta yuan China, dan 5,25 juta baht Thailand.
"Dari 1.333 kasus tersebut baru 428 kasus atau 32,11 persen telah diputus pengadilan," ujar Suradji.
Ia juga mengatakan sepanjang 2008 sampai 2010, BPKP juga melakukan fungsi memberikan keterangan ahli kepada Polri sebanyak 265 kali, Kejaksaan RI sebanyak 1.165 kali, KPK sebanyak 17 kali, Pengadilan 1.734 kali untuk kasus terkait.
Suradji mengakui banyaknya kasus yang ditangani BPKP, tidak diimbangi dengan jumlah auditor investigasi yang ada di BPKP.
Saat ini, ia menambahkan terdapat 52 auditor investigasi di BPKP untuk tiga direktorat dan idealnya setiap direktorat terdapat 50 tenaga auditor.
Suradji menambahkan sebagai langkah antisipatif dari kurangnya tenaga auditor maka BPKP akan lebih mendahulukan kasus-kasus yang bernilai besar.
"Kita ada kebijakan, prioritas untuk kasus yang strategis dan nilainya besar, kalau tidak ya belum jadi prioritas," ujarnya.
Selain itu, Suradji menambahkan pemerintah, saat ini juga menugaskan BPKP untuk melakukan pendampingan kepada Kementerian Lembaga dan pemerintah dalam penyusunan laporan keuangan.
Untuk melaksanakan tugas ini, BPKP dibebankan tugas agar Kementerian Lembaga dapat membuat laporan keuangan yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) paling lambat 2012.
Sementara untuk laporan keuangan Pemerintah Daerah (Pemda), BPKP diharapkan dapat memberikan pendampingan hingga batas waktu untuk memperoleh opini WTP pada 2014, karena saat ini masih banyak pemda yang memiliki keterbatasan dalam membuat laporan keuangan layak karena tidak memiliki tenaga akuntan terampil dan ahli.
"Pemda belum bisa membuat laporan keuangan yang layak dan itu tugas BPKP yang tidak ringan dan memerlukan waktu, karena mendapatkan tenaga akuntan di daerah yang bisa membuat laporan keuangan itu sulit sekali," ujar Suradji.
BPKP menyatakan pertanggungjawaban yang akan dimintakan dari setiap laporan keuangan Pemda dan Kementerian Lembaga terdiri atas perhitungan anggaran, catatan laporan keuangan, neraca, dan kas anggaran.
"Untuk membuat laporan keuangan yang baik harus dimulai dengan investarisasi aset. Untuk melaksanakan ini saja akan sulit," ujarnya.(*)
(T.S034/A026)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011