Sifat final dan mengikat putusan DKPP juga telah menimbulkan kerancuan dalam perspektif hukum administrasi negara, konsep etika, dan konsep hukum.
Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum Presiden Wahyu Chandra Purwo Negoro mengatakan bahwa sifat putusan final dan mengikat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berbeda dengan sifat putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya.
"Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU (Komisi Pemilihan Umum, red.), KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, maupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)," kata Wahyu Chandra dalam Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa.
Putusan pun, kata Wahyu Chandra, bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan dengan sifat final dari putusan MK. Sifat final dari putusan MK memiliki makna bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Adapun sifat mengikat dari putusan MK, kata dia, bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, sifat final dan mengikat dari putusan arbitrase memiliki makna bahwa putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
"Pengaturan dalam a quo tidak membuat DKPP menjadi lembaga superior atas penyelenggara pemilu lainnya karena sifat putusan DKPP tidak sama dengan final dan mengikat (seperti, red.) lembaga peradilan pada umumnya," kata Wahyu menegaskan.
Selain itu, dalam keterangannya, Wahyu Chandra juga mengatakan bahwa DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilihan umum yang diberi wewenang oleh undang-undang.
Kedudukan tersebut yang membedakan sifat putusan final dan mengikat DKPP dengan lembaga peradilan pada umumnya.
"Pemerintah memohon agar ketua dan anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memberikan putusan menyatakan frasa final dan mengikat dalam ketentuan Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Wahyu.
Sebelumnya, anggota KPU Evi Novida Ginting Manik bersama mantan Ketua KPU Arief Budiman mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi RI untuk melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Evi dan Arief memohon agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa final dan mengikat dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai bersifat mengikat sebagai keputusan tata usaha negara.
Permohonan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan para pemohon terkait dengan sifat putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah membuat kelembagaan DKPP menjadi superior atas penyelenggara pemilu lainnya, hilangnya mekanisme check and balance terhadap DKPP, dan abuse of power DKPP telah mendistorsi kemandirian penyelenggara pemilu.
Menurut para pemohon, distorsi tersebut mengakibatkan potensi pelanggaran atas asas jujur dan adil yang dapat bermuara pada berkurangnya kredibilitas penyelenggaraan pemilu dalam melindungi hak asasi manusia berupa hak dipilih dan hak memilih.
Selain itu, sifat final dan mengikat putusan DKPP juga telah menimbulkan kerancuan dalam perspektif hukum administrasi negara, perspektif konsep etika, dan perspektif konsep hukum.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021