Jakarta (ANTARA News) - Bona Paputungan, warga Gorontalo yang mendadak terkenal karena berhasil merilis lagu ciptaannya “Andaikan Aku Jadi Gayus” pada 14 Januari 2011, tidak pernah membayangkan secara cepat bisa menjadi pemberitaan media massa nasional dan sempat menghebohkan.

Menurut pengakuan Bona sendiri, teman-temannyalah yang berinisiatif untuk merilis dan mengedarkan lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” melalui medium “You Tube” . Lagu ciptaan Bona yang berdurasi 4 menit 47 detik ini muncul pertama kali di jaringan “You Tube” 14 Januari 2011 dalam bentuk video klip disertai penampilan Bona Paputungan sendiri dengan memakai rambut dan kacamata mirip Gayus berlatar jeruji penjara.

Bona Paputungan mengumpulkan sumbangan dana dari para pengunjung Lembaga Pemasyarakatan di Gorotalo untuk biaya studio rekaman pembuatan lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus”.

Sebagai mantan penghuni Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Bona Paputungan termotivasi menciptakan lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” karena rasa keadilannya tersentuh oleh perlakuan hukum yang dialami Gayus. Bona bersikap pasrah mendapat perlakuan dari lembaga pemasyarakatan yang berbeda dan tidak seperti yang dialami seorang Gayus Tambunan.

Dari syair lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” terkandung pesan komunikatif di antaranya berbunyi : “Andaikan Aku Jadi Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali – Inilah lucunya hukum di negeri ini hukuman bisa dibeli.- Kita orang lemah --- hanya bisa pasrah” ......” - Wahai saudara dan para sobat .....lakukan yang terbaik jangan salah langkah .....” .

Syair-syair lagu tersebut merupakan pesan komunikasi yang mengekspresikan suara rakyat yang menyangkut rasa keadilan dan perlakuan hukum, yang merupakan realitas sosial bahkan kritik sosial.

Bagi komunitas media massa, munculnya Bona Paputungan dengan lagu “Andai Aku Jadi Gayus” ini merupakan suatu kejutan media yang bahkan mungkin juga tidak ada dalam agenda media atau agenda setting karena adanya dominasi isu Gayus-Penegak Hukum-Pemerintah-DPR.

Pro dan kontra muncul terhadap Lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” seiring dengan heboh di masyarakat Gorontalo dan Jakarta. Sebuah stasiun TV nasional secara langsung menayangkan percakapan Bona Paputungan dengan penelpon yang menekan dan menteror Bona karena telah menciptakan dan mengedarkan lagu “Andai Aku Jadi Gayus” itu.

Gambaran pro dan kontra lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” ini indikatornya adalah percakapan langsung Bona dengan penelpon yang mengaku dari Detasemen Khusus (Densus), yang juga tentu saja sempat dianggap Detasemen Khusus Anti-Teror 88 dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Bona merasa punya hak untuk mengekspresikan rasa keadilan yang dialaminya dan membandingkannya dengan pengalaman Gayus di satu pihak.

Di lain pihak, penelpon memosisikan diri sebagai pihak yang belum bisa menerima adanya pengungkapan perasaan keadilan rakyat yang tersentuh dengan ulah Gayus yang berstatus tahanan tapi bisa jalan-jalan ke Bali dan luar negeri.

Pernyataan Kuasa Hukum isteri Gayus Tambunan di sebuah televisi swasta nasional juga merupakan gambaran pro-kontra, karena dengan menciptakan lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” Bona Paputungan dianggap mencari popularitas di atas penderitaan orang

Bona membuat lagu Gayus sebagai ekspresi perasaannya sebagai mantan penghuni Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo akibat jerat hukum pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan harus meringkuk di balik jeruji besi penjara pada 11 Maret 2010 sampai 7 Oktober 2010, dan baru dibebaskan 5 Januari 2011.

Pro dan kontra lagu ciptaan Bona tentang Gayus Tambunan paling tidak mendorong orang untuk sampai pada kesimpulan bahwa penelpon tanpa nama dapat dianggap mewakili ketakutan penyebarluasan ulah Gayus yang terkait dengan perlakuan dan penegakan hukum di Indonesia melalui lagu Gayus. Dari sisi lain, kita juga dapat menyimpulkan, bahwa penelpon Bona itu juga bisa diduga sebagai bagian dari rekayasa Internet marketing (e-marketing) guna mendongkrak popularitas.

Teman-teman Bona Paputungan cukup cerdik memanfaatkan media massa mainstream maupun alternative multi media (You Tube) sebagai sebuah metode dan tehnik pemasaran lagu baru. Dan, penggunaan "You Tube" sebagai medium komunikasi bukan suatu hal baru di Indonesia karena sebelumnya “Keong Racun” yang dinyanyikan Sinta dan Jojo dengan penampilan minimalis mampu meraih sukses yang maksimalis lewat medium komunikasi multimedia You Tube.

Khasanah lagu di Indonesia terhitung kaya dengan koleksi lagu-lagu sebagai produk budaya masyarakat karena lagu dianggap mampu menjadi medium dan diskursus yang dapat mengekspresikan situasi social politik pada suatu periode atau era tertentu.

Lagu-lagu, seperti "Satu Nusa Satu Bangsa", "Maju Tak Gentar" dan "Halo-halo Bandung", serta "Hari Merdeka" dapat dianggap mewakili patriotisme perjuangan pasca-kemerdekaan. Pada masa Orde Lama (Orla) kelompok Koes Bersaudara, kemudian Koes Plus muncul dengan lagu-lagu yang menggambarkan kekayaan alam dan bumi "Nusantara", Indonesia, melalui lagu "Kolam Susu" dan "Penyanyi Tua".

Lagu-lagu rakyat bernuansa seputar reformasi dan runtuhnya rejim Orde Baru, seperti lagu-lagu kelompok Slank, Iwan Falls juga Franky Sahilatua sering muncul membawakan lagu-lagu bertema kritik sosial dan balada politik. Bahkan, kelompok musik bersaudara Bimbo pernah membuat heboh melalui lagu "Tante Sun", yang oleh banyak kalangan dianggap menyindir Ibu Negara saat itu.

Pusaran liputan media You Tube ke media TV terhadap lagu “Andaikan Aku Jadi Gayus” ciptaan Bona Paputungan berlangsung cepat dan mencapai seluruh masyarakat Indonesia. Ada tawa senyum dan tentu juga sumpah serapah anggota masyarakat terhadap lagu ini.

Kecepatan penyampaian informasi atau pesan media massa atau multimedia membuktikan bahwa lagu “Andai Aku Jadi Gayus” ini memasuki arus informasi yang oleh Al Gore pada tahun 1994 disebut sebagai informasi bebas hambatan (superhighway information).

Lagu “Andai Aku Jadi Gayus” yang dikirim lewat saluran komunikasi multimedia You Tube kemudian di-streaming pula oleh media televisi dipancar luaskan kepada masyarakat pemirsa secara lebih luas lagi ini menunjukkan kekuatan multimedia You Tube telah digandakan oleh media televisi dan terbukti mampu menembus semua kanal dan blokade komunikasi apapun, tanpa reduksi pembatasan atau tanpa intervensi penyesuaian konten apapun.

Dalam konteks komunikasi atau dari aspek komunikasi penyampaian pesan yang muncul dalam lagu “Andai Aku Jadi Gayus” yang diciptakan Bona Paputungan ini yang paling menonjol adalah sisi perimbangan antar unsur-unsur komunikasi menjadi bersifat seimbang dan setara di mana semua unsur dalam konteks komunikasi dua arah ternyata memiliki peluang yang sama untuk bisa menjadi komunikator yang mengusung pesan-pesan tertentu.

Artinya masyarakat atau anggota masyarakat punya peluang yang sama untuk bisa menjadi komunikator atau menjadi pihak yang dapat mengkomunikasikan suatu isi pesan tertentu (komunike) dengan menggunakan semua medium komunikasi apapun yang dipilih.

Komunikasi publik dapat berjalan dengan mulus tanpa perlu sekat perintang atau barikade penghalang. Artinya rakyat yang semakin kritis dan punya kesadaran sosial-politik yang cukup saat ini punya keberanian moral dan praktis serta tidak berdiam diri tapi mampu mengekspresikan berbagai perasaan, penilaian dan pengamatan tentang situasi atau apa yang dialaminya sendiri secara terbuka.

Para aparatur penegak hukum mungkin adalah pihak yang menganggap lagu ciptaan Bona ini sebagai berlebihan atau kurang pantas untuk dimasyarakatkan, karena ada bagian isi syair yang terkait dengan carut marut penegakan hukum yang diskriminatif terhadap Bona Paputungan dan Gayus Tambunan.

Pandangan tersebut di atas sah-sah saja, namun harus dipahami bahwa kecanggihan dan kecepatan tehnologi informasi/komunikasi akan semakin mendorong munculnya suatu generasi masyarakat yang melek dan sadar informasi serta menginginkan transparansi sebagai jaminan untuk memperoleh semua hak-hak sebagai warganegara Indonesia, termasuk kemampuan mengekspresikan perasaan dan situasi sosial baik melalui produk diskursus lagu maupun bentuk lain seperti produk karya seni lukis mural yang juga relatif cukup merakyat saat ini sebagai medium penyampaian kritik sosial. (*)

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011