Aneh sekali, kamera berhenti beroperasi begitu tepat berada di atas "crop circle"

Yogyakarta (ANTARA News) - Senin pukul 6.00 WIB, saya telah meluncur dari rumah menuju Dusun Jogo Tirto, Berbah, di mana crop circle yang mengebohkan Indonesia sejak hari Minggu ditemukan.

Tempat itu sebenarnya dekat dari rumah saya, tapi karena harus sana sini menanyai penduduk, waktu yang saya perlukan untuk mencapainya molor menjadi 20 menit.

Sepagi itu, tempat tersebut sudah dipenuhi pengunjung. Di depan jalan masuk, beberapa pemuda berjejer mengatur kendaraan pengunjung, sembari memberikan tiket parkir, persis tukang parkir saja. Setiap sepeda motor dipungut Rp2000.

Saya segera memarkir motor untuk bergabung dengan pengunjung lain yang semuanya menampakkan wajah penasaran. Meski begitu, tempat sekitar crop circle itu berada, tetap lapang dan tak ada yang berdesakan.

Di pojok jalan setapak menuju sawah di mana tepat crop circle berada, pedagang asongan menjajakan kue basah sederhana, sementara beberapa pemuda bersemangat menjual foto hasil jepretan Mas Dalis, putra pemilik sawah di mana crop circle tercipta.

Tak bisa disangkal, fenomena unik di Berbah ini telah memutar roda ekonomi masyarakat, kendati untuk sesaat.

Saya jelas ke sana tidak untuk melihat-lihat saja. Tujuan utama saya adalah bergabung dengan tim Teknik Geodesi UGM dan para pehobi aeromodelling yang akan memotret crop circle dari udara.

Sekitar 8.00 WIB, lengkap sudah tim berkumpul. Operator aeromodelling adalah Mas Kopral, dibantu Mas Widi yang alumnus Teknik Geodesi UGM. Namun, pakar dan aktivis pemotretan udara dari Teknik Geodesi UGM, Dr. Catur Aries Rokhmana tak tampak di lapangan.

Jam 8 lebih sedikit, pesawat meluncur dikendalikan Mas Kopral lewat remote control. Dia sepertinya sangat piawai mengendalikan alat itu dan sepertinya yakin tak akan menghadapi kendala berarti.

Ceritanya gambar sudah diambil, namun karena harus mengikuti rapat kurikulum, saya mendahului tim dan menunggu hasilnya dengan harap-harap cemas.

Lalu, ketika bertemu dengan Dr. Catur di kampus Teknik Geodesi UGM, berita cukup menarik --ah mungkin juga aneh-- tersaji ke mata dan telinga saya.

Katanya, hasil pemotretan menunjukkan bahwa kamera gagal mengambil gambar tepat ketika berada di atas crop circle.

Saya lalu tanyakan kepada tim di lapangan mengapa hal itu bisa terjadi. Tak seorang pun mampu menjawab dan menjelaskan keganjilan ini.

Yang pasti, jika kamera rusak, maka tidak ada gambar yang bisa diambil. Faktanya, semua pengambilan gambar berjalan lancar, tapi itu tak berlaku ketika kamera tepat berada di atas crop circle. Aneh sekali, kamera berhenti beroperasi begitu tepat berada di atas crop circle.

Sampai tulisan ini dibuat, saya dan semua rekan tidak bisa memastikan apa penyebabnya.

Sepertinya perlu penelitian lebih serius mengenai medan magnet dan kondisi gelombang yang ada di sana ketika pemotretan terjadi, untuk menjawab keganjilan itu.

Tapi karena urusan kami adalah hanya untuk mengetahui bentuk dan dimensi geometris crop circle, maka segala gangguan bersifat elektromagnetis terhadap proses pemotretan kami abaikan. Itu karena dimensi itu tidak berada dalam perhatian kami dan tidak termasuk kegiatan pemotretan.

Tim tidak berani berandai-andai atau menerka sebelum ada bukti yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Lagi pula kapasitas kami tidak di situ.

Foto-foto yang dihasilkan dari pemotretan udara itu --tentu saja bukan yang tepat di atas crop circle karena kami memang tak mendapatkannya-- kemudian kami olah secara fotogrametris sehingga menghasilkan visualisasi dengan geometri cukup akurat.

Bentuk circle crop di Berbah ini memang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh para pemerhati soal ini.

Karena akurat secara geometris, hasil gambar bisa digunakan untuk mengukur dimensi sebenarnya. Dan, karena pengolahannya melibatkan referensi bumi, maka koordinatnya pun bisa diketahui.

Akibatnya, hasil foto udara ini bisa ditupangsusunkan (overlay) dengan citra satelit yang tersedia gratis pada Google Earth atau Google Maps.

Singkatnya, foto udara ini menjadi semacam peta yang dengannya bisa diketahui posisi dan dimensi crop circle Berbah ini.

Berdasarkan pengukuran foto udara itu, crop circle Berbah memiliki diameter 54 meter. Di sisi barat dan timurnya, terdapat dua lingkaran yang keduanya berjarak 67 meter.

Kami berusaha mendapatkan penjelasan mengenai rumor dan misteri di seputar pembuatan crop circle dari Dr. Catur Aries Rokhmana. Namuan Ketua Laboratorium Fotogrametri dan Penginderaan Jauh Teknik Geodesi UGM ini enggan mengomentarinya.

Katanya, ketertarikan dan kapasitas tim Teknik Geodesi UGM adalah pada upaya menentukan bentuk dan dimensi crop circle secara akurat. Soal misteri dan rumor bukan urusan tim.

Dia juga menjelaskan, bentuk crop circle bisa dipetakan secara akurat dengan teknologi pemotretan udara yang dikembangkan Teknik Geodesi UGM.

Saya sependapat dengannya bahwa metode ini memang sangat efektif, karena bentuk dan dimensi bentuk-bentuk di permukaan bumi bisa diketahui dengan cepat dan akurat.

Dr. Rokhmana menyatakan, pemotretan udara ini bisa diaplikasikan dalam ragam dimensi, tidak sekadar urusan crop circle. Dia mereferensikan www.potretudara.com untuk mengetahui apa-apa saja yang dikembangkan laboratoriumnya.

Saya sendiri menilai, siapapun yang membuat crop circle Berbah, maka pastilah mereka yang memiliki cita rasa seni tinggi dan memahami benar geometri dan matematika yang jelas bukan hal yang sederhana.

Saya sepakat crop circle bisa dibuat manusia dan ini memang bisa dijelaskan dengan amat logis.

Tapi, faktanya pada sebagian kecil crop circle logika tak bisa menjelaskannya. Saat bersamaan, selalu ada pihak yang menyukai misteri, seperti pada fenomena Segitiga Bermuda.

Kendati berulangkali dijelaskan secara ilmiah, selalu saja ada penjelasan lain yang mengarahkan fenomena itu ke misteri. Ini juga berlaku pada crop circle Berbah.

Untuk itu, kita masih memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai crop circle Berbah yang menghebohkan ini. (*)

I Made Andi Arsana adalah dosen Geodesi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011