"Kalau kita memperbaiki kualitas udara dengan reduksi sumber emisinya dengan bahan bakar yang lebih baik pasti akan mempengaruhi, mengurangi dampak perubahan iklim yang akhirnya melindungi kesehatan kita juga," kata pakar teknik lingkungan Hernani dalam diskusi virtual yang dipantau dari Jakarta, Senin.
"Memang mau tidak mau harus diperhatikan bagaimana memperbaiki sumbernya, kalau kaitannya dengan transportasi, bahan bakar yang digunakan untuk transportasinya harus lebih baik dan lebih terjangkau pada masyarakat untuk beralih bahan bakar yang ramah lingkungan," tambahnya.
Baca juga: Program Langit Biru edukasi warga gunakan BBM ramah lingkungan
Hal itu perlu dilakukan karena kematian dini akibat pencemaran udara banyak terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut pedoman terkait kualitas udara yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada September lalu, polusi udara telah menyebabkan tujuh juta kematian dini per tahun.
Hernani dalam kesempatan itu juga menyoroti bahwa baku mutu udara ambien Indonesia masih belum seketat yang ditetapkan oleh WHO.
Baca juga: Musi Banyuasin undang investor bisnis olah bensin ramah lingkungan
Dia memberi contoh bagaimana baku mutu untuk partikel udara PM 2,5 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang ditetapkan pada Februari 2021 adalah 55 mikrogram per meter kubik dalam waktu pengukuran 24 jam. Sementara untuk standar WHO adalah 15 mikrogram per meter kubik.
Sementara untuk rata-rata per tahun WHO dalam pedoman kualitas udara terbarunya menetapkan lima mikrogram per meter kubik, dengan Indonesia memiliki baku mutu 15 mikrogam per meter kubik.
Baca juga: Pertamina genjot produksi bahan bakar ramah lingkungan
Baca juga: Daur ulang "baglog" jamur dijadikan bahan bakar ramah lingkungan
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021