Kairo (ANTARA News) - Ibu kota Mesir, Kairo, pada Rabu (26/1) menjelang siang tampak tenang setelah sehari sebelumnya terjadi unjuk rasa hebat yang dijuluki sebagai "Yawmul Ghadhab (Hari Kemarahan)."

Di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo yang sehari sebelumnya menjadi pusat aksi unjuk rasa, terlihat sepi dan para pekerja kebersihan melakukan aktivitas harian mereka dan ratusan aparat keamanan masih berjaga-jaga.

Dalam unjuk rasa "Hari Kemarahan" di Kairo dan sejumlah kota lainnya itu menewaskan tiga orang termasuk seorang polisi akibat bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan.

Para pengunjuk rasa menggunakan hari libur pada Selasa, Hari Jadi Kepolisian, untuk unjuk rasa yang diilhami oleh aksi kekerasan di Tunisia yang berhasil menumbangkan Presiden Zine Al Abdidin Ben Ali dua pekan silam.

Dalam mengantisipasi unjuk rasa pada Selasa di ibu kota Kairo tersebut, sebanyak 30 ribu aparat keamanan dikerahkan.

Selain di Kairo, sejumlah kota provinsi lainnya seperti Suez, Ismailiyah, Fayyum, Qalyubia dan Iskandariyah juga terjadi unjuk rasa serupa.

Para pengunjuk rasa menuntut pembubaran parlemen yang terpilih dalam pemilihan pada November lalu dan mendesak Presiden Hosni Mubarak untuk tidak lagi mencalonkan diri dalam pemilihan presiden pada akhir tahun ini.

Para polisi menggunakan beberapa puncak gedung di sekitar Bundaran Tahrir untuk menembakkan gas air mata terhadap pengunjuk rasa.

Menteri Dalam Negeri Mesir Habib Al Adly mengatakan pihak akan mengambil tindakan tegas terhadap pengunjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum.

Kendati demikian, Mendagri Al-Adly membolehkan para pengunjuk rasa untuk menyampaikan inspirasi mereka, namun mewanti-wanti agar tidak mengganggu keamanan.

Ayman Nur, tokoh oposisi yang pada pemilihan presiden pada 2005 meraih suara terbanyak kedua setelah Mubarak mengatakan keyakinannya bahwa Mesir akan menyaksikan revolusi total seperti terjadi di Tunisia.

"Revolusi di Tunisia segera akan terjadi di Mesir," ujarnya.

Namun, kalangan pengamat mengatakan bahwa Presiden Mubarak masih memiliki kekuatan karena didukung kuat oleh militer.

"Para pemimpin militer masih loyal kepada Mubarak, hal itu berbeda dengan Ben Ali yang jatuh akibat ia tidak lagi disokong militer", kata analis politik, Amr Mostafa, dalam debat di jaringan televisi berbahasa Arab, Al-Jazeera, Selasa malam.(*)
(T.M043/H-AK)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011