"Solusi di Jember nanti seperti apa, kami akan membicarakannya lebih lanjut dengan pimpinan DPRD Jatim, pimpinan partai, dan ahli hukum," kata Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Minggu.
Ia menganggap konflik di Jember terkait pengangkatan Zarkasi sebagai penjabat bupati menggantikan bupati nonaktif MZA Djalal sudah mengarah pada persoalan politis.
"Kalau sudah masuk ranah politik, maka penyelesaiannya juga dengan politik. Kalau masalah hukum, ya dengan hukum. Jadi, tidak boleh politik menabrak hukum," katanya ditemui usai menggelar silaturahmi dengan kalangan Muspida Kabupaten Jember, terkait penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu.
Menurut dia, demokrasi harus berbanding lurus dengan kemauan rakyat. Gubernur melihat ada dua persoalan penting di Kabupaten Jember, yakni pengangkatan penjabat bupati sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan saran dari ketua DPRD, kepala Polres, dan komandan Kodim setempat, wagub Jatim serta tokoh masyarakat setempat yang menginginkan roda pemerintahan tetap berjalan setelah Djalal dinonaktifkan terkait kasus hukum yang dihadapinya.
Dalam pertemuan di Grahadi itu, Bupati nonaktif Jember MZA Djalal diberikan kesempatan untuk berbicara. "Aspirasi Pak Djalal kami tampung, asalkan tidak bertabrakan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku," kata Gubernur.
Gubernur menyatakan bahwa pengangkatan penjabat Bupati Jember itu karena masyarakat setempat menginginkan APBD segera disusun. Namun, setelah ada penjabat bupati, sebagian masyarakat menolaknya dengan menggelar berbagai aksi.
"Untuk menyusun APBD tidak bisa dilakukan seorang Plt (pelaksana tugas). Harus ada penjabat bupati yang membantu tugas DPRD," kata Gubernur.
Aspirasi masyarakat Jember itu kemudian ditampungnya dan ditindaklanjuti Gubernur dengan mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengangkat penjabat bupati setelah bupati definitif dinonaktifkan.
"Ini adalah prosedur di mana-mana dan sudah lama berlaku di seluruh provinsi. Namun karena di Jember baru saja terjadi pemilihan kepala daerah sehingga tensinya agak tinggi, dan kami menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar," kata mantan Sekdaprov Jatim itu.
Terkait pengangkatan penjabat bupati tanpa melalui sidang paripurna di DPRD Kabupaten Jember, Soekarwo menyatakan bahwa posisi penjabat bupati sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang kewenangan pengangkatan penjabat bupati danTata Tertib DPRD.
"Paripurna DPRD itu hanya untuk mengambil keputusan dan peraturan yang hanya bersifat mengikat ke dalam, sedangkan masalah pengangkatan penjabat bupati, DPRD hanya dimintai pertimbangan," katanya.
Pada tanggal 19 dan 22 Desember 2010, DPRD Kabupaten Jember telah meminta kepada Gubernur Jatim untuk segera mengangkat penjabat bupati karena RAPBD tahun 2011 segera disusun.
Ia menambahkan bahwa proses hukum yang berjalan saat ini tidak ada kaitannya dengan penjabat bupati, melainkan berkaitan dengan proses penyusunan APBD. Gubernur menganggap putusan bebas Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap Bupati nonaktif Djalal dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin daur ulang aspal di Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jatim pada 2004 itu belum berkekuatan hukum tetap.
Terkait pengajuan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) oleh kubu Djalal, Gubernur menyatakan pihaknya tetap akan menunggu putusan hukum tetap dalam proses kasasi.
"Kalau materi peradilan tata usaha beranggapan prosedurnya tidak fit. ya kita cek lagi. Pokoknya garis komandonya adalah peraturan perundang-undangan. Kalau isinya tetap ya tetap, tapi kalau putusannya dianggap salah ya nanti diubah," katanya.
Sementara itu, Wagub Jatim Saifullah Yusuf mengatakan pertemuan tersebut digelar sebagai bentuk perhatian dari pemerintah provinsi untuk menstabilkan situasi politik di Kabupaten Jember.
"Kami ingin mengajak semua pihak menyamakan persepsi atas yang terjadi di Kabupaten Jember," kata mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu. (M038/M008/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011