Sleman (ANTARA News) - Ratusan warga korban bencana erupsi Gunung Merapi yang telah menempati hunian sementara di Dusun Kuwang, Desa Argomulyo maupun di Dusun Plosokerep, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman menampakkan wajah yang sedikit berbeda, raut wajah kesedihan yang dulu menghias kini tak nampak lagi.

Kekhawatiran warga yang sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi serta mayoritas kehilangan sumber penghasilan keluarga ini sedikit teruraikan setelah Pemerintah Kabupaten Sleman mulai mencairkan bantuan jaminan hidup atau "Jadup" dari Kementerian Sosial sebesar Rp5.000 per jiwa per hari bagi mereka.

Tercatat sebanyak 538 jiwa korban bencana erupsi Gunung Merapi yang tinggal di "shelter" atau hunian sementara di Dusun Kuwang, Desa Argomulyo dan Dusun Plosokerep, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Jumat (21/1) menerima bantuan jaminan hidup.

"Bantuan jaminan hidup sebesar Rp5.000 per jiwa per hari itu, diberikan langsung untuk 30 hari, sehingga masing-masing jiwa mendapatkan Rp150.000," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman Kriswanto pada acara penyaluran bantuan jaminan hidup di "shelter" Dusun Kuwang, Desa Argomulyo.

Menurut dia, jaminan hidup saat ini baru diberikan kepada korban bencana Merapi yang telah berada di "shelter" guna memudahkan pendataan.

"Nantinya warga yang telah tinggal di `shelter` juga akan langsung diberi jaminan hidup ini. Jaminan hidup yang diterima Pemkab Sleman dari Kementerian Sosial sebesar Rp1,959 miliar tersebut untuk 13.065 jiwa pengungsi penghuni `shelter`," katanya.

Asekda Bidang Pembangunan Pemkab Sleman Sunartono mengharapkan koordinator masing-masing `shelter` dapat mendata warga dengan cermat, dan jangan sampai ada yang tercecer, sehingga bisa untuk memulihkan perekonomian hingga kesejahteraan warga.

"Kami tetap mengingatkan masyarakat untuk mengawasi pembagiannya, dan jika nanti ada yang sedikit terselip, saya mohon jangan dibesar-besarkan dengan isu yang tidak benar. Yang ini diselesaikan dulu, sedangkan yang belum terdata, nanti bisa disusulkan, sehingga semua bisa terbagi merata," katanya.

Menurut dia, jaminan hidup ini baru terealisasi sekarang, meskipun sudah diajukan sebulan lalu, karena mengutamakan kelengkapan administrasi.

"Jaminan hidup sebesar Rp5.000 ribu per jiwa per hari ini diberikan untuk 30 hari kepada 88 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 245 jiwa yang sudah menempati `shelter` Kuwang, dan 109 KK atau 285 jiwa di `shelter` Plosokerep," katanya.

Sementara itu, warga korban bencana Merapi yang telah mendapatkan jaminan hidup tersebut menyatakan merasa senang, karena menerima jatah hidup selama 30 hari, dan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup di "shelter".

"Saya mewakili warga merasa senang dan lega karena jaminan hidup ini akhirnya cair, dan ini bisa kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata koordinator pengungsi di `Shelter` Dusun Kuwang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Eko Bejo Subekti.

Menurut dia, warga korban bencana Merapi yang saat ini nyaris tidak memiliki apa-apa lagi ini dapat sedikit tenang karena setidaknya bantuan "Jadup" tersebut selain dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dapat dijadikan modal untuk merintis usaha untuk menyambung hidup selanjutnya.

"Ada beberapa warga yang menggunakan bantuan jadup tersebut untuk modal usaha kecil-kecilan seperti berjualan kebutuhan sehari-hari," katanya.

Penghuni "shelter" Dusun Kuwang, Ny Pawiro Utomo (60) tahun warga Dusun Bakalan, Argomulyo, Cangkringan, Sleman kehilangan dua cucu dan satu cicit serta tempat tinggalnya akibat terjangan awan panas Merapi pada 5 November 2010 mengatakan dirinya mulai merintis usaha dengan berjualan sayur-sayuran.

"Saya tidak mau berlama-lama dalam kepedihan, karena hidup ini terus berjalan dan banyak kebutuhan yang harus terpenuhi, sebagai hiburan dan sekaligus untuk memperoleh penghasilan saya berjualan sayuran dan makanan kecil di `shelter`, awalnya saya meminjam modal kepada kerabatnya untuk berjualan, mudah-mudahan jadup ini bisa untuk tambahan modal," katanya.

Sementara korban bencana erupsi Gunung Merapi dari Desa Pangukrejo yang saat ini masih barada di "shelter" Plosokerep mengaku bantuan jadup tersebut sedikit membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya mereka harus melakukan kegiatan ekonomi seperti berjualan.

"Warga Dusun Pangukrejo, Ngrangkah dan Kinahrejo yang saat ini ditampung di `shelter` Plosokerep mencari nafkah dengan berjualan makanan dan minuman maupun souvenir seperti VCD erupsi Merapi di lokasi bencana seperti Kaliadem, Jambu dan Kopeng (desa Kepuharjo) dan Kinahrejo, Ngrangkah dan Pangukrejo," kata warga Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Redjo Sentono.

kurang adil
Penyaluran jadup untuk korban bencana Merapi yang telah tinggal di "shelter" tersebut ternyata menyisakan satu masalah, karena para pengungsi bencana erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang saat ini masih tinggal di barak pengungsian menuntut pemerintah juga memberikan jaminan hidup kepada mereka seperti warga yang sudah tinggal di `shelter" atau hunian sementara.

"Ini sangat tidak adil jika jadup hanya diberikan kepada warga yang saat ini sudah tinggal di `shelter`, karena kami pun yang masih berada di barak pengungsian juga butuh uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari," kata Wagimin di barak pengungsian Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan.

Menurut dia, para pengungsi yang saat ini berada di barak pengungsian juga membutuhkan keperluan untuk sehari-hari.

"Memang kalau masalah makan pengungsi yang di barak ini setiap hari sudah dijatah tiga kali, namun kami kan juga butuh untuk keperluan yang lain, termasuk untuk transportasi sekolah anak-anak," katanya.

Sedangkan pengungsi di barak Balai Desa Umbulharjo, Cangkringan Sudarsih menilai tidak adil jika "Jadup" baru dibagikan saat mereka sudah tinggal di "shelter`.

"Jadup ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan yang tidak terduga, tidak adil jika untuk mendapat jadup harus tinggal di `shelter` dulu. Apalagi sampai saat ini belum ada kepastian kapan `shelter` yang diperuntukkan bagi kami ini kapan akan selesai pembangunannya," katanya.

Banu Hartoyo pengungsi di barak Pagerjurang, Kepuharjo menambahkan, hampir 90 persen warga saat ini sangat membutuhkan uang tunai untuk kelanjutan hidup mereka dan membangun masa depan.

"Kami ini butuh uang tunai untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kebutuhan lainnya, termasuk untuk menata kehidupan kami ke depan. Kalau masih harus menunggu sampai kami ditempatkan di `shelter` maka ini akan lama sekali," katanya.

Ia mengatakan, saat ini sebagian warga juga sudah tidak memiliki penghasilan, program padat karya yang pernah digulirkan kini sudah selesai.

"Pasir Merapi di dusun kami ini juga masih mentah, berbeda dengan pasir yang ada di bawah yang sudah bisa langsung ditambang. Kami berharap agar pemerintah juga segera mencairkan dana bantuan jadup untuk warga yang berada di barak," katanya.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman Kriswanto mengatakan jadup diberikan kepada korban erupsi yang sudah menempati "shelter", sedangkan yang di barak pengungsian semua kebutuhan ditanggung pemerintah.

"Kami meminta agar warga yang masih berada di barak pengungsian untuk sabar, nanti kalau sudah tinggal di `shelter` pasti kami bagikan," katanya.

Jaminan hidup yang diterima Pemkab Sleman senilai Rp1,959 miliar untuk 13.065 korban bencana erupsi Gunung Merapi, namun dari jumlah tersebut baru sebanyak 538 jiwa yang telah menerima jadup, sedangkan sisanya masih belum jelas karena belum ada kepastian kapan mereka bisa mulai tinggal di "shelter" karena sampai saat ini pembangunan "shelter" di sejumlah lokasi belum selesai bahkan ada yang belum dimulai pembangunannya.
(V001/A038)

Oleh Victorianus Satpranyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011