Selama tiga tahun berjuang, ia sama sekali tidak dibekali uang saku. Bahkan, tak jarang ia harus membawa sebotol air minum dari rumah pelatih sebagai bekal perjalanan saat pulang menuju rumah.
Papua (ANTARA) - Yael Kostantina Awom, atlet putri cabang olahraga muaythai tak kuasa membendung air matanya. Sambil tersedu-sedu, ia menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Papua karena gagal melaju ke partai final usai disingkirkan Nur Saadah asal Jawa Barat.
Yael, begitu orang memanggilnya. Ia tidak menyangka langkah dan impiannya untuk merebut medali emas di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XX harus terhenti di babak semifinal usai kalah dari Nur Saadah setelah melalui pertarungan sengit selama tiga ronde di Gedung Olahraga (GOR) Sekolah Tinggi Teologi Gereja Injili Di Indonesia (STT GIDI).
Sambil bercucuran air mata, ia tidak sungkan meminta maaf dan merasa malu karena gagal mengharumkan nama Papua dalam ajang olahraga terbesar di tingkat nasional tersebut.
Meskipun dipastikan mengamankan satu keping medali perunggu bersama, ia merasa hal itu tidak cukup untuk membuat masyarakat Papua bangga.
Kendati gagal mencapai target yang ia pasang yakni meraih medali emas, putri Papua sembilan bersaudara tersebut mengaku akan tetap mengedepankan jiwa sportivitas. Namun, hanya saja atlet berusia 26 tahun itu benar-benar tidak menyangka impiannya harus terkubur di babak semifinal.
Yael merasa di ronde pertama dan kedua berhasil mengumpulkan poin lebih banyak dari lawannya. Akan tetapi, keputusan wasit bersifat mutlak untuk setiap atlet.
"Saya tidak menyangka, ronde pertama dan kedua saya merasa menang dan memang di ronde ketiga saya kalah poin," kata dia.
Oleh karena itu, ia bersama ofisial berniat mengajukan banding kepada juri cabang olahraga muaythai guna memastikan hasil melawan atlet Jawa Barat itu. Apapun hasil dari banding, Yael mangaku siap menerima karena akan mengedepankan sportivitas.
Laga yang berlangsung di GOR STT GIDI tersebut, baik Yael maupun Nur Saadah menyajikan pertarungan sengit. Yael yang berada di sudut biru langsung berinisiatif menyerang Nur yang berada di sudut merah.
Teknik hook, jap, strike, elbow atau sikuan hingga tendangan kerap dilontarkan oleh masing-masing atlet. Dari saling serang itu, Yael lebih dulu dijatuhkan Nur Saadah. Namun, sorakan dan motivasi dari pendukung tuan rumah membuat putri Papua itu langsung bangkit.
Terbukti, berkat sorak-sorai masyarakat Papua di dalam GOR STT GIDI, ia berhasil membalas dan membuat atlet Jawa Barat peraih medali medali perak pada kejuaraan Internasional Muaythai Jak Top Fight tersebut jatuh tersungkur.
Di babak kedua, kedua atlet tampil makin agresif, baik Yael maupun Nur saling melancarkan serangan yang membuat keduanya beberapa kali harus bangkit dari jatuh usai menerima pukulan maupun tendangan.
Di akhir babak ketiga, Yael tampak kehabisan energi dan kehilangan kendali. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh lawannya untuk melancarkan serangan-serangan tajam yang membuat Yael harus berjibaku menangkisnya.
Alhasil, wasit memutuskan Nur Saadah keluar sebagai pemenang di kelas -43 kilogram putri cabang olahraga muaythai tersebut.
Kekalahan Yael dari Nur Saadah memperpanjang catatan kekalahannya dari atlet Jawa Barat tersebut. Pada PON XIX 2016 di Jawa Barat, Nur Saadah juga berhasil menundukkan putri Papua tersebut. Meskipun pada saat itu cabang olahraga muaythai masih termasuk eksibisi, namun rekor pertemuan itu menjadi memori tersendiri bagi kedua atlet.
Mengejar mimpi di tengah keterbatasan
Sebelum memantapkan diri sebagai atlet muaythai, Yael sebenarnya merupakan atlet sepakbola binaan Persipura Jayapura. Seiring berjalannya waktu, ia merasa mendapat tantangan baru dari dunia bela diri.
Setelah memantapkan diri, Yael memutuskan jalan hidupnya untuk menjadi atlet muaythai. Namun, cita-citanya untuk menjadi atlet besar tidak mudah karena awalnya tidak direstui oleh orang tua.
Sederhana saja, rasa takut, cemas dan tidak ingin celaka menimpa anaknya adalah alasan utama orang tuannya menghalangi niatan menjadi atlet muaythai. Namun, bukan anak Papua namanya jika tidak memiliki kegigihan. Berbekal semangat yang berapi-api serta rasa percaya diri, akhirnya ia bisa menyakinkan orang tuanya.
Tidak sampai di situ, rintangan untuk meraih mimpi terus dihadapi oleh Yael. Sejak giat berlatih pada 2016 hingga 2018 ia harus rela berlari 10 kilometer ke rumah sang pelatih. Tentu saja saat kembali ke rumah ia harus kembali mengayunkan kedua kakinya sejauh 10 kilometer lagi. Artinya, dalam sehari ia harus berlari 20 kilometer demi berlatih muaythai.
Selama tiga tahun berjuang, ia sama sekali tidak dibekali uang saku. Bahkan, tak jarang ia harus membawa sebotol air minum dari rumah pelatih sebagai bekal perjalanan saat pulang menuju rumah. Namun, hal itu bukan lah menjadi batu sandungan. Baginya, untuk menjadi atlet besar dan mengharumkan nama Indonesia, lari sejauh 20 kilometer tanpa ada uang saku tidak berarti apa-apa demi meraih cita-cita.
Kegigihannya berlatih dan kesabarannya berbuah manis. Pada 2018 ia berangkat ke Thailand untuk mengikuti kejuaraan internasional olahraga muaythai dan berhasil membawa medali perak dan perunggu ke Tanah Air.
Khusus persiapan PON XX, Yael berlatih keras selama dua tahun di Batu Malang, Provinsi Jawa Timur. Segala persiapan mental, fisik dan teknik dilakukannya dengan penuh semangat.
Perjuangan sosok Yael Kostantina Awom selayaknya mendapat apresiasi lebih dari semua orang terutama masyarakat Papua. Bagaimana tidak, ia bertanding dalam kondisi mengidap sakit paru-paru.
Ia mengaku sakit yang dideritanya sudah dirasakan sejak masih kecil. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari penyakit yang dideritanya, Yael secara rutin terus berjemur pukul 11.00 WIT di bawah terik matahari.
Mama adalah penyemangat
Kerja keras hingga berhasil meraih prestasi gemilang di tingkat nasional hingga internasional adalah pencapaian besar yang dipersembahkan Yael kepada Indonesia. Ia mengaku peran mama atau ibu adalah faktor penyemangat utama dalam karir keolahragaannya.
Mama, kata dia, sambil meneteskan air mata, adalah orang yang paling berjasa selama ini. Bagaimana tidak, ibunya berstatus janda sejak ia masih berusia belia karena ditinggal mati oleh suaminya. Mulai saat itu, mamanya harus bekerja ekstra membanting tulang demi menghidupi sembilan orang anaknya.
Orang tua laki-lakinya meninggal dunia saat Yael masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sebagai anak bungsu, Yael membuktikan diri bahwa ia bisa bangkit berjuang bersama mama dan saudara-saudaranya dari masalah himpitan ekonomi.
Ia mengakui peran mama begitu vital dalam perjalanan karirnya. Di tengah keterbatasan ekonomi, sosok mama selalu hadir untuk menyemangati anak bungsunya.
Dukungan pihak keluarga betul-betul menjadi kekuatan tersendiri bagi Yael. Selain itu, gemuruh, sorak-sorai masyarakat dan penonton di Tanah Papua saat ia berada di atas ring merupakan hal luar biasa yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata.
Terakhir, terselenggaranya PON XX di Bumi Cenderawasih menjadi kebanggaan tersendiri bagi atlet dan masyarakat Papua secara umum. Melalui ajang olahraga multi event tersebut, Papua akan semakin dikenal luas, tidak hanya tentang potensi tambang dan keindahan alamnya, tapi juga mengenai keramahan orang Papua.
Baca juga: Muaythai PON Papua: Petarung Papua, Jatim dan Sumbar raih kemenangan
Baca juga: Dua atlet muaythai Aceh melaju ke babak final PON XX
Baca juga: Latihan berkesinambungan kunci atlet Muaythai Riau capai semifinal
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021