Mewariskan peninggalan dalam wujud fisik, tetapi juga nilai-nilai luhur

Magelang (ANTARA) - Satu demi satu para penutur menyampaikan eksplorasi tentang relief-relief fabel Candi Mendut, menjadi cerita bertaburan di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Waktu itu, hari merangkak menuju sore.

Panggung studio beralas tanah, berpayung dedaunan pepohonan, dan hamparan ragam patung batu, bagai menerima dengan hangat berisiknya jagat satwa disajikan dalam narasi dengan sasaran pemaknaan tentang nilai-nilai hidup manusia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V menjelaskan fabel sebagai cerita yang menggambarkan watak, moral, dan budi pekerti manusia dengan pemeran dunia binatang.

Sekitar 20 orang dari berbagai latar belakang profesi dan kategori usia mengikuti "Lokakarya Seni Membaca Relief (Sebar) Candi Mendut" di Studio Mendut yang letaknya sekitar 250 meter sebelah timur Candi Mendut Kabupaten Magelang pada Sabtu (25/9).

Para peserta lokakarya itu, sebagian besar berasal dari Magelang, terutama kawasan Candi Borobudur dan Candi Mendut, sedangkan lainnya ada yang datang dari Salatiga dan Wonosobo.

Pemrakarsa kegiatan secara berseri dengan lokasi berpindah-pindah itu, pegiat seni budaya yang juga pengelola Lembaga Nittramaya Kabupaten Magelang, Bambang Eka Prasetya, sedangkan Studio Mendut yang juga pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung dikelola budayawan setempat, Sutanto Mendut.

Lokakarya diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker, pengaturan jaga jarak, dan pembatasan peserta, karena keadaan masih pandemi COVID-19.

Sejumlah peserta menyuguhkan fabel bersumber dari relief Candi Mendut. Kali itu, Bambang Eka menyiapkan tujuh naskah fabel untuk mereka satu demi satu mengeksplorasi, mengemas, dan menyajikan.

Fabel berjudul "Dua Betet Sesarang, Beda Watak" disuguhkan Nayla Nurul Fatima, "Dharmabudi dan Dustabudi" (Musofik Nugrahadi), "Keluarga Burung, Ular, dan Musang" (Hana "Johana" Nayla), dan "Kisah Dewi Hariti" (Khoirul Anam).

Selain itu, "Sepasang Angsa Terbangkan Kura-Kura" (Wahyu Utomo), sedangkan dua fabel, "Persahabatan Brahmana dengan Kepiting" dan "Angsa Berkepala Dua", disuguhkan Kurnia Setyaningsih.

Umumnya berbagai pesan dan makna dari setiap fabel disampaikan mereka pada akhir penceritaan, seperti menyangkut kepedulian, keluhuran budi, tenggang rasa, pengendalian diri, kebaikan hati, dan keadilan.

"Kalau yang di atas mengabaikan yang di bawah, akibatnya bisa mati bersama-sama," demikian Kurnia Setyaningsih tatkala menguak pesan atas fabel "Angsa Berkepala Dua".

Selain menyebut para pencerita tersebut sebagai "sastrava" dan "sastravi", Bambang Eka yang juga penyair itu, mengemukakan bahwa berbagai fabel di relief, termasuk di Candi Mendut, memberi inspirasi penting bagi kebaikan hidup manusia sesuai dengan perkembangan zaman.

Baca juga: Normal baru agar tubuh tak runtuh

Baca juga: Mat-matan menyuarakan makna bisikan candi-candi

Keberadaannya yang menjadi bagian dari warisan peninggalan sejarah dan budaya bangsa, sebagaimana di relief Candi Mendut, tentu menjadi roh tersendiri yang penting dan bernilai khas.

"Nenek moyang bangsa kita, bukan hanya mewariskan peninggalan dalam wujud fisik, tetapi juga nilai-nilai luhur untuk generasi bangsa ini," ujarnya.

Disadari akan pentingnya nilai-nilai luhur itu, setiap generasi bangsa sepatutnya mempelajari dan mengembangkan literasinya supaya warisan tersebut tetap bermakna dalam menghadapi peluang dan tantangan zaman.

Tidak ada kebenaran tunggal dalam pemahaman atas setiap fabel. Ia bersifat terbuka, cair, dan multitafsir. Setiap orang bisa menikmati dan menyerap makna atas setiap narasi fabel sesuai dengan referensi, kekayaan pengetahuan, serta jangkauan keluasan wawasan.

Fabel juga terkesan bukan membatasi sasaran, misalnya hanya kalangan anak, akan tetapi maknanya bisa direguk oleh semua orang dari berbagai kelompok usia, strata, dan latar belakang kehidupan.

"Semua bisa menangkap inspirasi dan menafsirkan cerita-ceritanya sesuai dengan pemaknaan masing-masing," ucap budayawan Sutanto Mendut.

Kehadiran mereka di studio itu dengan menaburkan berisik macam-macam fabel seakan-akan juga menimpali sajian cukup banyak patung batu dan relief kontemporer di tempat di tepian Kali Pabelan Mati tersebut.

Di Studio Mendut bertebaran juga patung dan relief yang tak lepas dari wujud aneka ragam satwa, seperti kijang, gajah, babi, anjing, kera, naga, singa, macan, kerbau, ular, buaya, dan cicak. Berbagai wujud satwa itu ada yang berdiri sendiri sebagai patung tunggal dan pasangan, ornamen patung, maupun menjadi bagian dari relief.

Salah satu patung karya seniman Gunung Merapi, Ismanto, berupa sosok berkepala mirip wujud Semar dengan tubuh yang dipenuhi ornamen aneka satwa, diletakkan di tangga menuju panggung alami studio tersebut.

Sang pematung yang juga salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung memberi judul karya dari batu Gunung Merapi itu, sebagai "Gunung Gusdur", untuk peringatan atas mangkat K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Ke-4 RI pada 2009.

Fabel sebagai bagian dari karya sastra dan budaya juga memiliki peranan penting dalam pembangunan kesehatan dan penguatan mental bangsa dengan generasi penerusnya.

Mental yang kuat dan sehat menjadi pusaka bangsa dalam menghadapi tantangan, termasuk situasi pandemi yang telah berlangsung di Indonesia selama sekitar 1,5 tahun terakhir ini.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengemukakan pentingnya perhatian terhadap karya seni dan budaya --termasuk sastra di mana fabel ada di dalamnya-- sebagai salah satu dimensi untuk manusia memperkuat kesehatan mental.

Saat Festival Anak Bajang dan Peresmian Museum Anak Bajang di kompleks bernama Omah Petroek Dusun Karangkletak, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (27/9), dikemukakan dia, bahwa vaksin kultural dibutuhkan masyarakat karena kontribusinya yang besar dalam merawat dan memastikan keselamatan bersama dari pandemi dengan macam-macam dampaknya.

"Kita banyak bicara tentang vaksin dan seterusnya, sementara yang kita perlukan adalah vaksin kultural," ucap Hilmar dalam acara secara "hybrid" (daring dan luring terbatas) itu.

Kontribusi vaksin kultural, disebut dia, sebagai besar dalam merawat dan memastikan keselamatan bersama dari pandemi.

Ketika para peserta "Lokakarya Sebar Candi Mendut" terdengar mengiyakan ungkapan spontan, "seger" (segar), dari yang lain setelah bersama-sama asyik memasuki jagat fabel, mungkin itulah penguat fondasi mental sehat yang terbangun untuk menghadapi tantangan pandemi.

Kalau memang benar demikian, biarkan berisik narasi satwa menyehatkan mental!

Baca juga: Ke mana APD-APD kita?

Baca juga: Lima pelukis pameran "Candi-Candi Berbisik" di Studio Mendut

0

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021