AS tidak terlibat tetapi mendukung. Menurut pendapat negara-negara Barat, pembunuhan itu dibutuhkan untuk integrasi Indonesia
Jakarta (ANTARA News) - Pembantaian massal terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menyusul peristiwa Gerakan 30 September 1965 tak lepas dari konteks domestik dan internasional pada saat itu.
"Peristiwa yang terjadi tahun 1965 jelas bersifat domestik, namun tidak dapat dipisahkan dari tatanan dunia yang terbagi dalam dua kutub saat Perang Dingin," kata Baskara T. Wardaya S.J, dosen Sejarah, Agama dan Pengembangan Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma.
Baskara mengemukakan hal tersebut dalam diskusi yang merupakan bagian dari konferensi bertajuk "Indonesia dan Dunia Tahun 1965," yang berlangsung Rabu (19/1) di Goethe Institut, Menteng, Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa ketika itu di Asia terjadi dua negara yang mengalami perpecahan yaitu Korea Utara dengan Korea Selatan dan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Saat itu, juga terjadi konflik Indonesia dengan Belanda mengenai Papua Barat dan rencana Inggris untuk membentuk federasi Malaysia. Awalnya pembentukan federasi itu tidak masalah bagi presiden Soekarno namun selanjutnya dia melancarkan konfrontasi.
Dalam konteks domestik, pada pemilu tahun 1955 PKI menduduki peringkat ke-4 di daerah dan pada tahun 1957 PKI bisa menambah dukungan. "Pada tahun 1955 banyak pihak yang mendesak Soekarno membatalkan Pemilu karena takut PKI akan menang," katanya.
Baskara juga mengemukakan "PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan China. Jumlah anggotanya meningkat, terorganisir dengan baik dan tidak tercemar oleh korupsi."
Mengenai peristiwa pembantaian massal anggota PKI setelah peristiwa Gerakan 30 September, Baskra mengemukakan ada banyak versi.
"Menurut versi pemerintah, orang-orang balas dendam dengan secara spontan membunuh para anggota PKI. Menurut versi saksi mata dan korban peristiwa itu, tidak semua orang yang dibunuh dan dipenjara adalah komunis. Banyak tuduhan yang salah. mereka merupakan korban ambisi kekuasaan Soeharto," katanya. Versi sejarawan menurut Baskara adalah soal konflik internal di tubuh TNI yang merupakan inti masalah.
"Dari semua versi itu pada kenyataannya versi pemerintah yang lebih dominan," katanya.
Hal yang menjadi pertanyaan Baskara adalah mengapa pembunuhan massal itu tidak terjadi di Jawa Barat, padahal pembantaian terjadi di Jawa tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara dan Kalimantan.
Dalam diskusi lainnya, Bradley Simpson, dosen Sejarah dan Hubungan Internasional Universitas Princeton, mengatakan Amerika Serikat tidak terlibat dalam pembantaian massal tersebut.
Namun, menurut Simpson, banyak pejabat AS yang meyakini bahwa PKI harus dimusnahkan. "AS tidak terlibat tetapi mendukung. Menurut pendapat negara-negara Barat, pembunuhan itu dibutuhkan untuk integrasi Indonesia," kata Simpson.
Pada acara pembukaan konferensi di Goethe Institut itu, Selasa (18/1), terjadi demonstrasi dari Gerakan Pemuda Islam (GPI). Christiane Jekeli, Humas Goethe Institut mengatakan massa yang berjumlah 20-an mendatangi tempat diskusi pada Selasa sore. Mereka menyatakan bahwa konferensi internasional ini mendukung komunisme di Indonesia dan merupakan bagian dari konspirasi komunis internasional.
Penyelenggara mengatakan konferensi tersebut bermaksud untuk menyorot konteks global dari peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1965.
Mereka mengundang tiga wakil demonstran untuk mendiskusikan sudut pandang mereka. Pimpinan GPI diundang untuk menghadiri diskusi terbuka yang akan berlangsung pada malam penutupan pada hari Jumat, (21/1).
(ENY/A038/BRT)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011