Shopping therapy ini menyebabkan terapi terhadap si anak tidak efektif karena polanya tidak berkesinambungan dan mungkin ada yang terputus
Denpasar (ANTARA News) - Para orang tua yang memiliki anak autis seringkali terjebak pada perilaku "shopping therapy" atau berpindah-pindah tempat terapi karena mereka tidak sabar, kata seorang pengelola pendidikan anak berkebutuhan khusus.
"Shopping therapy ini menyebabkan terapi terhadap si anak tidak efektif karena polanya tidak berkesinambungan dan mungkin ada yang terputus," kata Koordinator Pusat Tumbuh Kembang Anak Berkebutuhan Khusus Denpasar dr Ni Luh Putu Sudiani, Kamis.
Ia mengemukakan bahwa perilaku orang tua yang memiliki anak autis itu karena tidak sabar melihat perkembangan si anak yang dinilainya lambat. Karena itu mereka berharap di tempat terapi lain bisa segera berhasil.
"Padahal tidak seperti itu. Orang tua memang harus ekstra sabar karena untuk satu kemampuan saja butuh waktu lama, seperti untuk kemampuan anak bisa kontak mata dengan orang lain saja butuh waktu dua tahun," kata dokter yang juga memiliki anak autis itu.
Akibat keinginan yang menggebu-gebu agar anaknya segera berkembang sama dengan anak normal seusianya, maka orang tua berpindah-pindah dari satu tempat terapi ke tempat lainnya.
"Kalau di tempat terapi yang baru terapisnya kooperatif, maka catatan perkembangan dan terapi sebelumnya yang dijalani si anak akan dibaca dan dipelajari. Tapi kalau terapisnya tidak mau mempelajari catatan perkembangan itu, maka dimulai dari awal lagi," katanya.
Menurut dia, memiliki anak dengan gangguan autis memang harus berbesar hati dan menerima segala resikonya. Dengan sikap demikian, maka orang tua akan melakukan terapi pada anak dengan tidak mengedepankan target terlalu tinggi.
"Memang sikap orang tua kebanyakan dari anak autis yang tidak sabar itu wajar karena mereka ingin anaknya sama seperti anak-anak normal. Saya juga mengalami hal seperti itu, sehingga saya menemukan kuncinya adalah sabar dan sabar," kata lulusan FK Universitas Udayana Denpasar ini.
Selain itu, katanya, memiliki anak autis memang membutuhkan biaya yang sangat besar karena harus menjaga makanan yang seimbang, termasuk untuk terapi. Sementara untuk uji laboratorium mengenai penyebab anak itu autis, di Indonesia sampai saat ini belum dan di luar negeri biayanya sangat mahal.
Kehadiran pusat penanganan autis yang dikelolanya atas inisiatif Ketua Tim Penggerak PKK Kota Denpasar Ny IA Selly D Mantra sejak Oktober 2010 ini diharapkan bisa meringankan beban orang tua yang memiliki anak autis.
"Pusat pendidikan yang dibidani oleh Ibu Wali Kota ini memang didedikasikan untuk anak autis sesuai dengan program kota ramah anak. Di sini tidak ada uang pangkal dan uang pembangunan sehingga lebih murah dibandingkan tempat terapi lain," katanya. (M026/I006/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011