Seharusnya barang dan jasa tersebut masih dikecualikan sebagai barang dan jasa kena pajak, sehingga barang dan jasa tersebut bukan menjadi objek PPN.

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengingatkan bahwa RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan jangan sampai membebani rakyat, misalnya dengan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang yang esensial bagi kehidupan warga seperti sembako.

Ecky Awal Mucharam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, menegaskan bahwa Fraksi PKS berpendapat bila barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan jasa keagamaan dikeluarkan dari kategori barang dan jasa yang tidak dikenai PPN, akan membebani rakyat serta berdampak negatif terhadap kesejahteraan dan perekonomian.

"Seharusnya barang dan jasa tersebut masih dikecualikan sebagai barang dan jasa kena pajak, sehingga barang dan jasa tersebut bukan menjadi objek PPN," katanya.

Baca juga: Komisi XI DPR setuju RUU Perpajakan dibawa ke Rapat Paripurna

Ia juga menegaskan bahwa saat berbagai insentif dan fasilitas perpajakan diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi, jangan sampai justru yang dikejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat berpendapatan rendah.

Selain itu, ujar dia, Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025, serta mendorong tarif pajak pertambahan nilai setinggi-tingginya tetap 10 persen.

"Kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Artinya, kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional," tegas Ecky.

Baca juga: PKS: RUU KUP harus mengarah pada kebijakan perpajakan yang berkeadilan

Selain itu, ujar dia, pihaknnya juga menolak pasal-pasal terkait dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak sebagaimana yang dipahami publik sebagai program "tax amnesty jilid 2" karena sebelumnya, pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tahun 2016 tidak terbukti dapat meningkatkan penerimaan negara jangka panjang.

Hal itu terbukti, lanjutnya, dari indikasi bahwa pada periode 2018 rasio perpajakan hanya mencapai 10,2 persen dan 2019 hanya mencapai 9,8 persen.

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR dan akan disahkan menjadi UU.

"Proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis demi reformasi perpajakan dan Indonesia maju adil sejahtera," ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam akun twitter resminya di Jakarta, Kamis (30/9).

Meski begitu, ia menyebutkan RUU KUP kini berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Menurut Yustinus, pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mendengarkan dan berkomitmen terus memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat bawah.

"Maka dari itu, barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa pelayanan sosial mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan lajak pertambahan nilai (PPN)," tegasnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021