"Kamu wartawan dari mana, kok seenaknya mengambil gambar. Kamu pergi dulu dan minta izin ke humas PN Pontianak, apakah boleh diliput atau tidak," kata Ketua Majelis Hakim Yunus Sesa.Pontianak (ANTARA News) - Terdakwa kasus tindak pidana korupsi Cornelius Kimha, Rabu, mengusir seorang kameramen televisi lokal, Ruai TV saat mengambil gambar proses persidangan di Pengadilan Negeri Pontianak.
Peristiwa itu terjadi setelah majelis hakim yang diketuai oleh Yunus Sesa membuka persidangan dan menyatakan terbuka untuk umum dengan agenda eksepsi atau jawaban dari penasehat hukum terdakwa. Majelis hakim menegur kameramen Ruai TV, Bambang yang akan mengambil suasana sidang.
"Kamu wartawan dari mana, kok seenaknya mengambil gambar. Kamu pergi dulu dan minta izin ke humas PN Pontianak, apakah boleh diliput atau tidak," kata Ketua Majelis Hakim Yunus Sesa.
Bambang menjawab, dia dan satu rekannya dari Ruai TV. Jawaban Bambang dipotong oleh terdakwa Cornelius Kimha yang sedang duduk di kursi pesakitan. Mantan mantan Kepala Kesbanglinmas Provinsi Kalimantan Barat langsung berdiri dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dalam bahasa ibu, yang intinya mengusir wartawan TV itu keluar.
Suasana sempat tegang, karena ruang persidangan diisi oleh puluhan orang yang sejak pagi sudah memadati ruang persidangan. Tidak ada satupun aparat dari kepolisian yang melakukan pengawalan.
Martina, wartawati Ruai TV menyesalkan tindakan pengusiran dan pelecehan dari terdakwa terhadap ia dan rekannya. "Kami sudah mendapat izin dari humas PN Pontianak untuk meliput, tetapi kenapa terdakwa dan massa malah melarang," ujarnya kesal.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menganggap terdakwa bersalah dalam pengadaan baju hansip tahun anggaran 2008 yang telah merugikan negara sebesar Rp1,3 miliar dari total anggaran sebesar Rp4,51 miliar. Ini diperkuat dengan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang menemukan penggelembungan dalam pengadaan baju hansip itu beserta rekanan PT Putraco Utama.
Penggelembungan itu menurut JPU, karena dalam pengadaan baju hansip itu tidak membuat Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) serta Herga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dianggap bertentangan dengan Keppres No. 80/2003 pasal 9 ayat (3) mengenai tugas dan tanggung jawab terdakwa, serta pasal 13 ayat (1) yang menyatakan pangadaan barang dan jasa wajib menggunakan HPS, terkait harga pasar menjelang dilaksanakannya pengadaan barang.
Atas dugaan penggelembungan itu, JPU mengancam terdakwa dengan pasal berlapis, yakni ancaman pidana No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto 55 ayat (1) dan 65 (1) KUHP.
Subsidair, UU No. 21/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto pasal 55 ayat (1) dan pasal 65 (1) KUHP.
Sanksi tersebut, karena dianggap sengaja tidak memeriksa berkas penerimaan dan pemeriksaan barang dan jasa terkait penyerahan pengadaan baju hansip oleh PT Putraco Utama sebanyak 7.640 stel yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, A Ambo Mangan membantah, kliennya mengerahkan massa dan preman pada saat proses persidangan dilakukan.
"Kedatangan mereka hanya spontanitas, mereka adalah rekan dan keluarga terdakwa yang datang untuk memberikan dukungan moril terhadap klien kami," katanya.
Seusai persidangan puluhan orang kembali mengancam belasan kameramen TV lokal dan nasional agar tidak menayangkan proses persidangan Tipikor tersebut. Terdakwa kini menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar.
(A057/J006/A038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011