Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan menyatakan bahwa selain menjaga kestabilan harga pangan, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak daya beli warga karena hal tersebut dapat mempengaruhi keterjangkauan pangan oleh masyarakat.

"Kestabilan harga bukan lagi menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Pemerintah perlu memperhatikan daya beli warga yang menurun akibat pandemi COVID-19," kata Indra Setiawan dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, berdasarkan indeks bulanan rumah tangga yang dibuat CIPS, harga komoditas pangan di Indonesia selama bulan Agustus cenderung stabil dibandingkan bulan sebelumnya.

Bahkan, lanjutnya, indeks tersebut ada sejumlah menunjukkan deflasi pada jangka waktu yang sama yaitu sejumlah komoditas seperti daging ayam, daging sapi, bawang putih, bawang merah, dan cabai merah.

"Hal ini juga didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa secara umum, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 0,32 persen dengan andil deflasi 0,08 persen," katanya.

Ia berpendapat bahwa melihat kondisi pasar dan dampak pandemi, deflasi harga pangan disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat dan libur panjang di bulan Agustus.

Indra mengatakan, walaupun sudah dilonggarkan, pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih mempengaruhi mobilitas dan kegiatan ekonomi dan ini berdampak pada pendapatan yang merupakan sumber daya beli masyarakat.

Sebagian kalangan, lanjutnya, juga memprioritaskan kebutuhan jelang tahun ajaran baru di bulan Juli yang lalu sehingga berdampak pada konsumsi pangan.

"Dalam jangka panjang, hal ini dapat mempengaruhi konsumsi nutrisi. Masyarakat cenderung memilih makanan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih murah, tapi kenyang belum tentu mencukupi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuh," ucapnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Harmusa Oktaviani mengingatkan rendahnya tingkat inflasi bukan saja hanya karena keberhasilan mengendalikan harga, tetapi juga berpotensi terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat saat ini.

Harmusa menilai bahwa inflasi dapat dimaknai seperti dua sisi berbeda dari mata uang yang sama.

"Pertama, inflasi rendah bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas harga. Namun, yang kedua, inflasi rendah ini juga dapat terjadi akibat rendahnya daya beli masyarakat karena kondisi perekonomian yang belum benar-benar pulih,” ujar Harmusa.

Politisi Partai Demokrat itu mengemukakan bahwa saat pandemi masih berlangsung, daya beli masyarakat belum benar-benar pulih.

Ia berpendapat bahwa jika daya beli tersebut sudah kembali, maka ke depannya pasti angka inflasi cenderung bergerak naik.

“Sehingga, kami mohon agar BI jangan dulu klaim rendahnya inflasi ini karena keberhasilan BI kendalikan harga. Namun harus benar-benar dikaji secara tepat,” kata Harmusa.

Baca juga: Akademisi nilai bansos PPKM efektif tingkatkan daya beli masyarakat
Baca juga: Pengamat: Penyesuaian PPKM di DKI dongkrak daya beli masyarakat
Baca juga: Pengamat: Penurunan tarif listrik dongkrak produksi dan daya beli

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021